Adalah sebuah hari rabu di bulan
Oktober saat matahari berada diatas kepala dan bayang-bayang jatuh tepat
ditelapak kaki kami berkendaraan menggunakan sepeda motor menuju selatan dari
arah pusat kota Yogyakarta tempat dimana perbukitan kapur membentang luas
saling menyambung menjadi bagian barat dari gugusan Pegunungan Sewu yang
berjajar disepanjang selatan pulau Jawa hingga ke Tulungagung.
Mendapatkan
informasi untuk destinasi hari ini dari sebuah majalah gratisan yang kami baca
di warung makan tentang sebuah air terjun kecil yang indah bernama Luweng
Sampang, seperti potongan kecil surga di perbatasan Klaten dan Gunung Kidul
menurut artikel tersebut Luweng Sampang terletak di Dusun Karangasem Desa
Sampang, Gedangsari lebih mudah lewat jalur Klaten – Srowot – Wedi tetapi kami
memilih lewat Patuk – Nglipar – Gedangsari yang jalurnya terjal naik turun
perbukitan. Di dunia maya pun informasi masih sangat minim jadilah kita banyak
bertanya meskipun yang ditanya ujung-ujungnya malah berdebat masalah dimana
letak desa Sampang, di sepanjang perjalanan menuju Gedangsari kami menemukan
aliran sungai yang mengering hasil dari kemarau panjang menyebabkan krisis air
di desa-desa yang bergantung dari aliran sungai.
Di kiri dan kanan jalan pohon jati yang
daunnya meranggas menambah eksotis perjalanan kali ini, semoga hujan cepat
datang lalu membasahi tanah-tanah yang mulai retak membuat tunas baru di
cabang-cabang pepohonan dan orang-orang pun merindukan aroma tanah yang
dihasilkan dari hujan pertama setelah kemarau panjang.
Sebelum
sampai di Desa Sampang kami tiba diatas puncak bukit meskipun jalanan sedikit
curam tetapi dari sana kami bisa melihat 180 derajat pemandangan, terlihat
Klaten juga Gunung Merapi dan Merbabu sangat cerah tidak tertutup awan sebuah
bayaran setimpal dari jalur yang terjal melelahkan naik turun sebelumnya.
Tak lama
kami sampai di Luweng Sampang, Voila!
Air sungai kering kerontang hanya menyisakan genangan air dan tanah endapan,
air terjun pun tidak mengalir jatuh dengan indah seperti dalam gambar di
majalah kecewa sih sedikit karena seharusnya ke Luweng Sampang lebih bagus pada
musim penghujan sehingga debit air sedikit lebih banyak dan suasana lebih
sejuk.
Lalu kami
bertemu Pak Legiman dia adalah seorang juru kunci Luweng Sampang dia dengan
sangat antusias bercerita banyak tentang Luweng Sampang lalu Sunan Kalijaga
juga bercerita random tentang Pangeran Diponegoro , lambang bendera merah dan
putih - oh iya dia juga bilang dia sangat senang fotonya sekarang muncul di
internet. tak lama ia membuat air terjunnya mengeluarkan air secara
tiba-tiba, kami pikir itu kesaktian di
zaman modern eh ternyata si Bapaknya tadi menyalakan kran air yang mengaliri
pipa-pipa ke dinding tebing air terjun tersebut.
Beranjak
dari Luweng Sampang tepat pada matahari berada diatas kepala dan membuat
pantulan fatamorgana di jalanan aspal yang panas kami akhirnya memutuskan untuk
pergi ke air terjun Sri Gethuk perjalanan tidak terlalu jauh untuk kami tempuh,
mungkin dua puluh menit melewati jalanan
sepi dengan pohon jati di kanan dan kiri jalan itu kami disambut oleh gapura
dan mas-mas yang menyuruh kami membayar tiket masuk, oh iya ini tempat wisata
dan sudah dikelola warga sekitar.
Karena
memang udara saat itu sangat panas, kami memang berniat untuk berenang
sebelumnya jadi sangat antusias waktu melihat aliran sungai di Sri Gethuk,
airnya berwarna hijau zamrud lalu
ditawari seorang bapak dengan membayar dua puluh lima ribu per orang kami
dipinjami pelampung dan gratis naik rakit motor sampai ke bawah air terjun,
tahukah ? karena jika harus berenang dari tepian sungai sampai muka air terjun
itu akan sedikit melelahkan dengan jarak sekitar 300 meter dapat ditempuh oleh
rakit sekitar 5 menit.
Itu sekitar
pukul dua siang matahari sudah sedikit condong kearah barat dan sinarnya tidak
terlalu panas lagi terasa di kening kepala, tertutup oleh tebing-tebing eksotis
yang mengapit aliran sungai air terjun pun jatuh mempesona, beruntungnya kami
datang bukan pada akhir pekan karena pengunjung hanyalah kami dan beberapa
kelompok mahasiswa. sedikit agak seram ketika membayangkan ada apa dibawah kaki
kita, dibawah hijau zamrudnya air sungai sungguh Sri Gethuk adalah keindahan
penuh misteri.
Sambil
bermain kami banyak mengobrol tentang Sri Gethuk, si Bapak penjaga cerita jika
dahulu di percaya ada seorang patih kerajaan yang menyimpan sebuah alat musik
dibalik air terjun, konon apabila malam tertentu terdengar bebunyian merdu dari
balik air terjun. Dia juga bercerita bagaimana dulu warga sekitar kesulitan
mencari air, dan masalah pelik disekitar tempat yang berpotensi sebagai daerah
tujuan wisata tersebut.
Sore yang
cerah itu ditutup oleh pantulan sinar matahari di permukaan air sungai dan kami
berenang dari air terjun sampai ke tepian sungai sambil menikmati momen yang
tidak terjadi setiap hari ini, kalau lah bisa disarankan datang pada musim
kering seperti ini agar hijaunya air sungai tidak terganti warna coklat lumpur.
Untuk :
Arif, Anjar, Silvi dan Iyam. Makasih :)
Aliran Kali Oyo dengan kilau matahari di hari kemarau |
Waktu lewat Desa Nglipar kutemui kau begitu mempesona |
Kering dan rindu wangi tanah di kali pertama hujan turun |
Luweng Sampang yang salah waktu |
Ah so fine~ |
Di perjalanan pulang |