Kami tak tahu ia mengalir ke selatan atau utara – Sapardi Djoko
Damono ‘ Sungai, Tabanan (1973)’
Cerita ini dimulai dari
perpisahan, perpisahan pada kota yang menghadirkan kenangan selama enam bulan,
singkat memang seperti kamu begitu saja melahap kue pukis yang masih hangat.
Tapi kota ini seperti mantan gebetan yang dulu kamu sering dibuatnya rindu.
Dan hari menunjukan pukul
sebelas siang, itu saya naik motor diantara debu-debu Jalan Laksamana
Adisucipto, Yogyakarta hari itu satu hari di bulan Januari yang siklus hujannya
lebih sering datang tiba-tiba waktu sore-sore dan siangnya matahari terik
sekali. Dengan perasaan sedih saya pergi ke timur, ke Sragen sebagai destinasi
pertama saya dalam rencana naik motor ke Bali ini, ya Bali ! karena si partner
perjalanan saya kali ini ingin menemui gebetannya yang cantik sedang training disana, oke jadilah saya ikut
niat mulia ini, naik motor ke Bali dan bilang sama ibu kalau sudah sampai aja.
Perjalanan ditempuh selama dua setengah jam, kami tiba di Sragen kalau kamu
bertanya Sragen itu kota yang terletak dimana coba buka peta, Sragen ada
disebelah timur Solo sering disebut “Tlatah Sukowati” dengan gambaran kota yang
indah dan Sragen terbuat dari sepi mayoritas masyarakatnya merantau ke
kota-kota besar di Jawa Tengah atau ke Jakarta waktu itu saya tiba disana
siang-siang saya kira karena ini jam tidur siang lantas sepi ternyata waktu
sore harinya juga sepi, nyaman buat kamu yang gak suka tempat yang bising. Di
Sragen ada Museum Sangiran, adalah museum yang menyimpan koleksi fosil
purbakala dan ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia nomor 593 karena
bayangin aja ada hampir 50% fosil diseluruh dunia ditemukan di situs Sangiran
ini beruntung banget masyarakat Sragen dekat dengan nenek moyang manusia. Oke
kamu boleh bilang wow. Semalam di Sragen untuk menyiapkan motor juga karena
hujan kami menginap dirumah nenek, rumah-rumah jawa tempo dulu yang halamannya
dipenuhi tabung gas elpiji 3 kilogram.
Nenek dan Kambing di Sambung Macan, Sragen |
Rumah nenek - Next Plan Home. Sambung Macan, Sragen |
Berangkat pukul satu siang
dari Sambung Macan, Sragen melewati
Matingan yang didominasi oleh pohon jati di kanan dan kiri jalan juga bus antar
provinsi yang super cepat kami juga melewati Museum Trinil, tak lama kami
disambut gerbang selamat datang di Provinsi Jawa Timur dengan kota Ngawi
sebagai garda depan menyambut dengan hangat, dan Ngawi mengingatkan saya secara
personal pada helm kesayangan saya yang bertempelkan stiker tulisan “Ngawi
Hardcore” didapat dari seorang teman yang melakukan band tour antar kota, ya sebagai bukti skena hardcore di Ngawi eksis juga. Ciee.
Selamat Datang Ngawi ! |
Istirahat pertama kami di
salahsatu minimarket di Kecamatan Caruban, Ngawi. Caruban adalah persimpangan
kearah kanan menuju Madiun dan kearah kiri menuju Nganjuk, karena jalan yang
dipilih akan melalui Nganjuk lalu Jombang – Mojokerto – Sidoarjo jadi kami
memilih yang kiri, meskipun katanya kanan lebih baik. Sampai di Porong Sidoarjo
sekitar jam tujuh malam dan hujan ban bocor pula jadilah sambil berteduh sambil
menambal ban, melihat Porong sama seperti melihat bom waktu tiap detik disana
adalah waspada bencana, ya saya tahu kamu juga pasti tahu disana ada bencana
lumpur Lapindo. Ngeri.
Dimana aja kali |
Untunglah melewati Pasuruan lalu
Probolinggo hujan tidak lagi mengguyur cuaca cerah banyak bintang, akhirnya
setelah sepuluh jam perjalanan kami tiba di Situbondo dan makan malam nasi
goreng di depan alun-alun Situbondo bonus uang dua puluh ribu dibawah tikar.
Tak lama huruf-huruf bertuliskan ‘TN Baluran’ menyambut kami dengan vegetasi
khasnya savana yang kering itu dan terkenal disebut ‘a little Africa from Java’,perlu diingat itu bulan Januari jadi
gak sekering bulan September, berjalan melewati hutan dalam gelap itu jam dua
dini hari mepet sama truk-truk yang mau nyebrang ke Bali karena khawatir dengan
hal buruk dan akhirnya setelah 45 menit kami sampai di pom bensin daerah
Batangan, Banyuwangi dan istirahat sambil nunggu pagi. Enaknya pom bensin
sepanjang jalur selatan atau utara pom bensin biasanya menyediakan gazebo untuk supir-supir truk istirahat
sebentar, jadilah saya ikut tidur bareng supir-supir truk itu.
Jam enam pagi setelah agak seger
sedikit kami melanjutkan perjalanan melewati pasar pagi yang ramai di Bajulmati
dan disisi kiri jalan kilauan sinar matahari menimpa riak ombak kecil di laut,
selamat datang di Watudodol ! saya disambut patung penari Gandrung dan makanan
sejenis nasi kucing yang dibungkus berisi telur dadar juga sambal dijual di
depan Stasiun Banyuwangi Baru oleh seorang bapak menggunakan sepeda. Sedap.
Banyuwangi dulu kali |
Titik Timur Kereta Api Pulau Jawa - Stasiun Banyuwang Baru |
Stasiun Banyuwangi Baru - ada Raung dan Merapi malu-malu |
Menyebrang menggunakan kapal ferry di Pelabuhan Ketapang, pelabuhan
terbuat dari ramai orang-orang yang mengejar waktu jam kerja malah ada seorang
mbak-mbak yang lari karena jembatan penghubung kapal dengan dermaga hampir
ditutup, mbak istighfar mbak. Dan sampailah kita di Pulau Bali jadi inget lagu
si Cindy Cenora yang hits banget itu
loh pasti kamu hafal, itu jam 9 WITA padahal tadi nyebrang gak sampai satu jam
jadilah kita lebih tua satu jam karena nyebrang ke Bali.
Di batas waktu , Selat Bali |
tenang banget - West Bali National Park |
Melewati jalur selatan pulau
Bali kita menemui West Bali National Park, taman nasional di ujung barat pulau
Bali ini didominasi oleh belukar khas pesisir pantai juga pepohonan yang rimbun dipinggiran jalan,
jalanan sepi total dan sinar matahari pagi menembus pepohonan, kalau kamu yang
biasa hidup di kota industri kaya saya kamu pasti ngerasa pemandangan ini mewah
banget. Dan lalu kami makan pagi – si nasi bungkus yang tadi beli di Stasiun
Banyuwangi Baru itu di daerah Mendoyo, Kabupaten Negara makan pagi dipinggir
pantai sambil istirahat sebentar karena hawa yang sejuk daritadi itu bikin mata
agak berat.
Lalu kami sampai di Mengwi,
Kabupaten Tabanan sekitar tengah hari sambil mandi dulu di pom bensin. Hawa
Mengwi siang itu panas menyengat tapi namanya juga di Bali hawa panas juga
hawa-hawa liburan, dan kami sampai di Denpasar! Terakhir saya ke Bali itu
sekitar tiga tahun yang lalu dan saya sedikit shock culture, emang efek kelamaan di Cimahi jadi sedikit gugup
waktu di Legian dan yang bikin gugup satu lagi adalah Jalan Tol Bali – Mandara
! jalan tol yang dibuat diatas laut sepanjang 12,7 km ini menghubungkan Nusa
Dua, Ngurah Rai dan Benoa memiliki jalur khusus untuk sepeda motor sehingga
kamu bakal lebih katro karena sibuk teriak-teriak sambil nyetir. Disisi kiri
didominasi oleh hutan mangrove dan
dikanan pemandangan kota juga kapal-kapal pesiar yang sedang bersandar. Epic!.
Destinasi pertama begitu sampai
di Bali adalah Pantai Pandawa, pantai yang berada dibalik dua tebing ini memang
memiliki patung kelima Pandawa berukuran raksasa ditambah patung Dewi Kunti,
itu sekitar jam tiga sore dan cuaca sedang bagus ombak juga gak terlalu tinggi
jadilah saya berenang sambil melihat batas zenith
antara laut dengan langit yang biru sore itu, lagi-lagi Tuhan sedang jatuh
cinta waktu membuat Bali!
Sunnyshiny day - Jalan Tol Bali Mandara |
Blue Zenith - Pantai Pandawa |
Malamnya kami menunggu si dia
yang ditunggu, partner saya agak harap-harap cemas menunggu di Pantai Kuta
sambil memandang hotel tempat si dia training,
jadilah saya nyanyi Denpasar Moon sama Kuta Bali dari Andre Hehanusa, partner
saya keki. Gak lama karena bosan menunggu jadilah kami muter-muter dan jalan
kaki ke Legian, Legian gak terlalu penuh seperti bulan Juli atau November
jalanan juga cukup bersahabat malam itu, menunggu di salahsatu minimarket
karena gak suka dugem atau motifnya lebih ke motif alasan ekonomi ya jadi
nunggu di mini market aja dan gak lama datanglah dua diantara temannya si dia
yang menjemput kami sekitar jam sepuluh malam, menyarankan kami menginap di
kostannya yang dihuni oleh mereka bertiga termasuk si dia. Dan karena gak bisa bikin
akhir cerita yang indah bak cerita dongeng, akhirnya janji partner saya sama si
dia untuk datang ke Bali terpenuhi. Ah senangnya menjadi bagian dari misi ini.
and they are happily ever after |
PS : Waktu nulis ini saya sambil sarapan ketoprak
yang dijual oleh sepasang suami istri romantis banget mana si ibu dan bapaknya
doyan bercanda, dan oh iya anak perempuan saya yang lagi susah disuruh mandi.
Jarak Tempuh Jogja ke Denpasar :
Yogyakarta – Klaten – Solo = 58 Km
Solo-Sragen-Mantingan –Ngawi = 74 Km
Mgawi-Caruban-Nganjuk-Kertosono=88km
Kertosono-Jombang-Surabaya= 96 Km
Surabaya-Sidoarjo-Gempol-Bangil-Pasuruan=64 Km
Pasuruan-Probolinggo-Situbondo-Ketapang = 246 Km
Gilimanuk-Negara-Tabanan = 108 Km
Tabanan – Denpasar = 26 Km