Morning without you is a dwindled dawn - Emily Dickinson |
Syahdan, dahulu kala di
dataran tinggi ini adalah tempat dimana Kyai Kolodete – salah satu dari tiga
serangkai yang membangun Wonosobo melakukan moksa, tempatnya sangat indah.
Hari masih sore, jam
pulang kerja belum usai hari ini malam Natal tanggal 24 Desember, suasana hotel
agak sibuk tidak seperti biasanya, sebagian menyiapkan ornamen khas Natal lalu
lainnya menyiapkan untuk acara makan malam. Saya sedikit terburu-buru membereskan
tugas saya hari itu, meskipun begitu tetap jam tujuh malam saya baru bisa
keluar office.
Sambil mengkontrol ulang
bawaan yang sudah disiapkan sebelum berangkat kerja tadi pagi, tidak dalam lima
belas menit kemudian partner
perjalanan saya malam itu siap menjemput , dengan motor vespa kuning cerahnya
itu kami berangkat menuju kawasan Dieng
Plateau .
Malam terbuat dari
suasana syahdu dari gereja-gereja yang kami lewati selama perjalanan
Jogja-Muntilan cuaca cukup cerah malam itu hanya ada bekas rintik hujan yang
telah lewat, kami berbelok kearah Candi Borobudur sambil mengikuti papan
petunjuk arah yang mengarahkan ke Purworejo, tak lama berbelok kanan melewati
Kecamatan Sapuran, melewati daerah Sapuran adalah salahsatu dari epos cerita
malam ini bagaimanakah tidak, jalanan berkelok naik dan turun serta lubang
jalanan yang sering tidak terlihat juga jalanan yang hampir dari seluruhnya
hutan dan ladang saran dari kami jangan lewat pada malam hari. Sepanjang
perjalanan di daerah Sapuran ini terbuat dari gelap juga ladang-ladang warga
hujan dengan intensitas rendah, juga dengan pisau lipat di saku celana hanya
untuk waspada. Sekitar satu jam melintasi daerah Sapuran , kita muncul di Pasar
Kretek Wonosobo yang berbatasan langsung dengan Purworejo. Sedikit informasi,
apabila perjalanan Jogja-Wonosobo melewati daerah Sapuran kita akan menghemat
sekitar satu hingga dua jam perjalanan dibandingkan harus melewati Magelang
kota, Parakan dan Temanggung.
Dari Pasar Kretek Kawasan
Dieng Plateau tidak terlalu jauh lagi, tepat pada pukul 12 malam kita sampai di
gerbang pertama ada siluet indah Sindoro - Sumbing yang tertangkap mata malam
itu, langit cerah tidak berwarna hitam pekat melainkan biru tua yang
menenangkan bulan tak terlihat mungkin itu alasan yang membuat bintang menjadi
primadona langit malam itu, bukit dan punggungan pegunungan saling menyambung
tidak berujung, sungguh Tuhan sedang jatuh cinta waktu membuat Dieng!
Waktu kami sampai di
Patak Banteng yang menjadi Pos Pendakian Gunung Prau suhu disana sekitar 14 derajat
celcius, dingin sekali untuk ukuran warga yang tinggal dikota pesisir pantai,
kami tak banyak lama setelah parkir motor dan sedikit bercakap, pukul satu dini
hari kami memulai pendakian melewati perkebunan warga yang tanahnya
gembur-gembur sambil berhati-hati jangan sampai ada tanaman yang rusak.
Kembali ke beberapa
minggu lalu waktu weekend di Gunung
Merbabu, kami bertemu seorang pendaki asal Bogor, ia bercerita pengalamannya
saat ke Dieng dan tidak sengaja naik Gunung Prau dari sana kami menggali informasi,
memang sedang agak hits di
forum-forum backpacker tentang
keindahan Gunung Prau, gunung yang serupa bukit yang tinggi itu pun belakangan
ini menjadi buruan fotografer. Sementara kami, adalah seorang ‘euforia-individualis-traveller’ atau ya
mungkin hipster yang datang kesana
hanya untuk menikmati pagi yang tidak biasa itu saja tanpa peralatan kamera
super canggih dan sebisa mungkin tidak meninggalkan sampah, dorongan kuat lahir
dari kumpulan foto di dunia maya yang menggambarkan padang bunga daisy.
Melewati Pos I Sikut Dewo
dan Pos II Canggal Walangan dengan mulus, medan tidak terlalu curam atau
pengaruh gelap yang membuat pendakian jadi terasa ringan setelah Pos III
Cacingan jalan mulai sedikit ada rintangannya, tanah basah khas bulan Desember
juga tanah yang sedikit longsor hampir 90 derajat dengan ketinggian tiga meter
ini sedikit menguji kesabaran, itu dini hari kabut menggantung tipis untung ada
webbing yang diikatkan pada pohon
yang kokoh untuk membantu pendaki melewati tanjakan curam ini.
Setelah jalan sekitar
seratus meter dalam kegelapan kami mulai merasakan padang bunga daisy, dan
tibalah kami di Padang Teletubies yang biasa dijadikan tempat mendirikan tenda,
disana penuh sekali tenda-tenda terang dalam kegelapan dan beruntunglah
menangkap siluet megah Sindoro - Sumbing
juga rasi bintang layang-layang dilangit selatan membuat petunjuk dimana tempat
yang tepat untuk mendirikan tenda. Pilihan jatuh pada bukit paling atas agak
sepi dari kerumunan tenda lainnya, anginnya juga agak kencang dari arah timur,
tetapi karena kami berniat hanya menunggu fajar datang jadi itu tidak masalah.
Waktu rona merah di timur
mulai nampak kami sedang menyeduh kopi, sekitar pukul setengah lima pagi,
padang bunga daisy yang dipenuhi tetesan embun pagi mulai kelihatan dan itu luar
biasa, tapi yang jadi menarik adalah ketika membuka tenda tampaklah si kembar
Sindoro – Sumbing menyapa. Rasanya meleleh.
Pagi ini benar lain dari
hari-hari biasanya, mungkin ini adalah pagi terbaik selama hampir dua puluh dua
tahun hidup, sungguh jika kamu ada disana waktu itu pun kamu akan berlebihan
meskipun ada ratusan orang yang menunggu pagi tapi nampaknya spot yang kami pilih cukup tepat karena
jauh dari kerumunan orang banyak.
Kami mulai packing dan bersiap turun sekitar pukul
sebelas siang, setelah dihajar hujan deras selama satu jam, padang bunga daisy
jadi sedikit basah, rintik hujan pun masih menyisa pada kelopak dandelion,
jalan sedikit becek. Sampai di Patak Banteng sekitar lepas ashar, memang kami
turun dengan amat santai sambil menikmati kabut tipis yang turun sepanjang
siang tadi, petualangan kami diakhiri dengan minum susu jahe hangat di
angkringan sebelah Pos Pendakian sambil mengobrol dengan pemiliknya yang super
ramah.
Untuk Baarce, Merry Christmas !
Untuk Baarce, Merry Christmas !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar