Jumat, 27 Februari 2015

Pohon Jati Meranggas, Hujan Terlambat Datang

            Adalah sebuah hari rabu di bulan Oktober saat matahari berada diatas kepala dan bayang-bayang jatuh tepat ditelapak kaki kami berkendaraan menggunakan sepeda motor menuju selatan dari arah pusat kota Yogyakarta tempat dimana perbukitan kapur membentang luas saling menyambung menjadi bagian barat dari gugusan Pegunungan Sewu yang berjajar disepanjang selatan pulau Jawa hingga ke Tulungagung.
            Mendapatkan informasi untuk destinasi hari ini dari sebuah majalah gratisan yang kami baca di warung makan tentang sebuah air terjun kecil yang indah bernama Luweng Sampang, seperti potongan kecil surga di perbatasan Klaten dan Gunung Kidul menurut artikel tersebut Luweng Sampang terletak di Dusun Karangasem Desa Sampang, Gedangsari lebih mudah lewat jalur Klaten – Srowot – Wedi tetapi kami memilih lewat Patuk – Nglipar – Gedangsari yang jalurnya terjal naik turun perbukitan. Di dunia maya pun informasi masih sangat minim jadilah kita banyak bertanya meskipun yang ditanya ujung-ujungnya malah berdebat masalah dimana letak desa Sampang, di sepanjang perjalanan menuju Gedangsari kami menemukan aliran sungai yang mengering hasil dari kemarau panjang menyebabkan krisis air di desa-desa yang bergantung dari aliran sungai.
 Di kiri dan kanan jalan pohon jati yang daunnya meranggas menambah eksotis perjalanan kali ini, semoga hujan cepat datang lalu membasahi tanah-tanah yang mulai retak membuat tunas baru di cabang-cabang pepohonan dan orang-orang pun merindukan aroma tanah yang dihasilkan dari hujan pertama setelah kemarau panjang.
Sebelum sampai di Desa Sampang kami tiba diatas puncak bukit meskipun jalanan sedikit curam tetapi dari sana kami bisa melihat 180 derajat pemandangan, terlihat Klaten juga Gunung Merapi dan Merbabu sangat cerah tidak tertutup awan sebuah bayaran setimpal dari jalur yang terjal melelahkan naik turun sebelumnya.
 Tak lama kami sampai di Luweng Sampang, Voila! Air sungai kering kerontang hanya menyisakan genangan air dan tanah endapan, air terjun pun tidak mengalir jatuh dengan indah seperti dalam gambar di majalah kecewa sih sedikit karena seharusnya ke Luweng Sampang lebih bagus pada musim penghujan sehingga debit air sedikit lebih banyak dan suasana lebih sejuk.
 Lalu kami bertemu Pak Legiman dia adalah seorang juru kunci Luweng Sampang dia dengan sangat antusias bercerita banyak tentang Luweng Sampang lalu Sunan Kalijaga juga bercerita random tentang Pangeran Diponegoro , lambang bendera merah dan putih - oh iya dia juga bilang dia sangat senang fotonya sekarang muncul di internet. tak lama ia membuat air terjunnya mengeluarkan air secara tiba-tiba,  kami pikir itu kesaktian di zaman modern eh ternyata si Bapaknya tadi menyalakan kran air yang mengaliri pipa-pipa ke dinding tebing air terjun tersebut.
Beranjak dari Luweng Sampang tepat pada matahari berada diatas kepala dan membuat pantulan fatamorgana di jalanan aspal yang panas kami akhirnya memutuskan untuk pergi ke air terjun Sri Gethuk perjalanan tidak terlalu jauh untuk kami tempuh, mungkin dua puluh menit melewati  jalanan sepi dengan pohon jati di kanan dan kiri jalan itu kami disambut oleh gapura dan mas-mas yang menyuruh kami membayar tiket masuk, oh iya ini tempat wisata dan sudah dikelola warga sekitar.
 Karena memang udara saat itu sangat panas, kami memang berniat untuk berenang sebelumnya jadi sangat antusias waktu melihat aliran sungai di Sri Gethuk, airnya berwarna hijau zamrud  lalu ditawari seorang bapak dengan membayar dua puluh lima ribu per orang kami dipinjami pelampung dan gratis naik rakit motor sampai ke bawah air terjun, tahukah ? karena jika harus berenang dari tepian sungai sampai muka air terjun itu akan sedikit melelahkan dengan jarak sekitar 300 meter dapat ditempuh oleh rakit sekitar 5 menit.
Itu sekitar pukul dua siang matahari sudah sedikit condong kearah barat dan sinarnya tidak terlalu panas lagi terasa di kening kepala, tertutup oleh tebing-tebing eksotis yang mengapit aliran sungai air terjun pun jatuh mempesona, beruntungnya kami datang bukan pada akhir pekan karena pengunjung hanyalah kami dan beberapa kelompok mahasiswa. sedikit agak seram ketika membayangkan ada apa dibawah kaki kita, dibawah hijau zamrudnya air sungai sungguh Sri Gethuk adalah keindahan penuh misteri.
Sambil bermain kami banyak mengobrol tentang Sri Gethuk, si Bapak penjaga cerita jika dahulu di percaya ada seorang patih kerajaan yang menyimpan sebuah alat musik dibalik air terjun, konon apabila malam tertentu terdengar bebunyian merdu dari balik air terjun. Dia juga bercerita bagaimana dulu warga sekitar kesulitan mencari air, dan masalah pelik disekitar tempat yang berpotensi sebagai daerah tujuan wisata tersebut.
Sore yang cerah itu ditutup oleh pantulan sinar matahari di permukaan air sungai dan kami berenang dari air terjun sampai ke tepian sungai sambil menikmati momen yang tidak terjadi setiap hari ini, kalau lah bisa disarankan datang pada musim kering seperti ini agar hijaunya air sungai tidak terganti warna coklat lumpur.




Untuk : Arif, Anjar, Silvi dan Iyam. Makasih :)

Aliran Kali Oyo dengan kilau matahari di hari kemarau

Waktu lewat Desa Nglipar kutemui kau begitu mempesona

Kering dan rindu wangi tanah di kali pertama hujan turun

Luweng Sampang yang salah waktu

Ah so fine~

Di perjalanan pulang