Jumat, 04 April 2014

Cerita Matahari

#1
Ini adalah dimana beberapa hari dibulan September, sebagai hadiah ulang tahun ke-21. lewat dunia maya seperti mendapatkan keberuntungan saya menemukan kesempatan bagus untuk mengunjungi sepupu tua, si Krakatau. bersama saudara lelaki saya berangkat melewati bukit-bukit yang di ratakan jadi jalanan bebas hambatan dan melewati gemerlap lampu kota yang hampir saya kira tersesat di Manhattan. 

#2
Diujung pulau ini saya bertemu teman baru, mendengar pengalaman baru tentang tempat yang baru, lalu kami bergerak dan menyebrangi selat ini dalam lelap. Matahari pagi menyambut di dermaga kecil yang sibuk, ada wangi telur dadar disana dan kami bergegas kunjungan pertama kepada si Sebuku Kecil yang sedih karena banyak sampah disana padahal ia amatlah cantik, sungguh! 

#3
Kami sampai di Tuan Sebesi sekitar pukul 11 disana sedang terjadi kesibukan kecil, kebanyakan laki-laki sedang membangun dermaga baru. Sore hari setelah lelah sedikit pergi kami pergi mengunjungi teman-teman yang lain ada ikan-ikan di Spot Cemara dan Nona Umang-Umang yang mempesona untuk melihat Matahari sore.  memang nona tidak terlupakan.  

#4
Tiba kembali di Tuan Sebesi saya pergi mandi dengan teman-teman menyusuri gelap menemukan rumah sumber cahaya bagi Tuan Sebesi.  Malam ini sangat indah ibu Bulan di langit timur menggantikan tugas Matahari, dan empat ekor tenggiri dewasa harus pergi malam ini 

#5
Dini hari ini kami pergi mengunjungi sepupu tua kami si Anak Krakatau, jantung ini sedikit berdegup kencang melewati gelombang tinggi yang terus membasahi muka dan akhirnya saya pergi ke tempat yang aman di dalam kapal. Matahari pagi menghangatkan si Anak Krakatau, seperti sepupu yang lama tidak berjumpa ia begitu menyenangkan membuat saya bersedih ketika harus meninggalkannya. 

#6
Ikan- ikan di Lagoon Cabe menyambut kami pendatang asing penghirup oksigen dengan kebingungan, entah apa yang mereka deskripsikan tentang kami tetapi mereka sangat indah terumbu karang disana pun nampaknya menjadi rumah yang nyaman bagi mereka.

#7
Lalu kami kembali pada Tuan Sebesi yang ramah, membereskan barang-barang dan bersiap untuk pulang, jujur saya membenci perpisahan dan akhir cerita, semoga ada cerita - cerita Matahari dari tempat lainnya, sampai jumpa! - (Tidak Pernah Tamat) 


cerita pun dimulai dari dermaga ini

nah ini Sebuku Kecil yang cantik

semua teman bergegas


nona Umang-umang dan matahasri sore

amankan yang perlu diamankan, karena sia air laut benci dengan alat-alat elektronik


sampai jumpa esok hari matahari!

masih terlalu pagi di kaki

si Anak Krakatau - mulai kami mendaki

hallo matahari pagi, aku selalu mengagumimu seperti pagi-pagi pertama kita

ada ibu Krakatau yang agung disana

terimakasih telah rela di kunjungi

berbaris dan menunggu membawa kami


untuk teman-teman, terimakasih sampai jumpa kembali dilain perjalanan :) 

Jumat, 28 Maret 2014

Sekalian Ke Timur Jawadwipa

   Panggilan dari pengeras suara di stasiun kereta api Bandung memanggil penumpang kereta api Malabar Express tujuan Kota Malang sore itu tapi salah satu dari kami belum juga tiba kecemasan pun muncul menghinggapi , syukurlah di menit-menit terakhir kami semua lengkap. Kereta api berjalan kearah timur pada sore yang cerah itu matahari pukul empat sore masih terik di barat, hari itu satu hari di bulan September menurut salah seorang dosen geografi di universitas waktu terbaik menikmati matahari adalah bulan September dan Maret karena pada setiap tanggal 22 di bulan September dan Maret matahari akan berada ditengah garis khatulistiwa jadi tujuan kami ke Pulau Sempu di Malang menjadi pilihan terbaik menikmati salah satu dari dua kali fenomena dalam setahun tersebut. 

  Hari berubah menjadi gelap ketika kereta memasuki daerah Tasikmalaya lampu-lampu kota terlihat seperti iklan yang cepat berlalu, saat itu aturan di kereta api sudah sangat ketat tidak ada rokok, tidak ada pedagang asongan ( lalu sambil berfikir, kerja apa mereka sekarang setelah dilarang berjualan di kereta api? ) peraturan ini berlaku untuk semua kelas dari ekonomi hingga eksekutif memesan tiket pun lebih sistematis untuk menghindari percaloan, mungkin ada hal baik dan buruknya dari peraturan yang baru ini juga ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan atau dirugikan.
  Melewati Jogja ditengah malam jalanan terlihat lenggang dari kaca jendela kereta kota yang penuh romantisme ini mungkin sedang beristirahat dari segala bentuk hiruk dan pikuknya, sejauh ini Jogja-lah biasanya jarak yang paling jauh kami tempuh oleh kereta karenanya ini pengalaman pertama untuk kami semua ber-kereta api lebih jauh dari biasanya, kota-kota dilalui dengan begitu cepat stasiun kecil stasiun besar dan akhirnya dini hari di Madiun, penasaran dengan nasi pecel yang menjadi primadona itu akhirnya kami coba membelinya dengan melakukan transaksi jual beli melalui jendela kereta dan makan dengan sangat lahap seperti baru kali ini menemukan nasi.
  Terbangun oleh sinar matahari yang masuk melalui jendela sangat menyilaukan mata lalu terpukau melihat sepanjang kiri dan kanan rel dihiasi oleh hutan jati yang meranggas daun-daunnya berguguran, tidak lama kemudian sekitar lima kilometer dari Stasiun Sumberpucung kami melewati dua terowongan yaitu Eka Bhakti Karya  sepanjang 760 meter dan Dwi Bhakti Karya sepanjang 400 meter disamping terowongan yang dibangun pada tahun 1969 ini terdapat Bendungan Ir. Sutami atau masyarakat setempat biasa menyebutnya Waduk Karang Kates. 
  
  Matahari perlahan mulai naik padi di petak-petak sawah pun terlihat mulai menguning dan merunduk, baru sekitar pukul 7 pagi kami sampai di Stasiun Kota Malang dan mereservasi tiket untuk kepulangan ke Bandung, dan kami mendapatkan tiket pulang untuk tiga hari lagi dari Stasiun Gubeng, Surabaya. Kesan pertama sampai di kota yang memiliki julukan Parijs van East Java pada saat jaman kolonial ini sangat mengagumkan sayang tidak banyak waktu untuk melipir ke sudut-sudut indahnya kami langsung menuju Terminal Gadang menggunakan angkutan kota dari sana menaiki Bus menuju Pasar Turen, di pasar tradisional ini kami membeli sedikit perbekalan untuk berkemah di Pulau Sempu tetapi tidak itu saja di salah satu warung kami makan, yang menjadi begitu mengesankan ialah harga untuk satu porsi tempe penyetnya yang sangat murah dan rasanya enak. 

 
Cuaca cerah saat itu, baru pukul 11 siang kami menaiki satu-satunya angkutan yang akan menyambungkan kami ke Pantai Sendang Biru, angkutan sejenis angkot mobil Carry tua berwarna biru itu harus menunggu penumpang penuh terlebih dahulu – kejar  setoran istilahnya sedang kami masih penumpang pertama, satu jam pun berlalu setelah habis berkeliling pasar angkutan itu masih belum mau beranjak, masih menunggu beberapa penumpang lagi – menurut supirnya. Kami sedikit gamang saat itu sedikit mengejar waktu untuk sampai di Pulau Sempu saat hari masih terang karena jika hari sudah terburu gelap itu akan menjadi masalah bagi kami yang tidak paham medan, jadilah kami menyewa angkutan itu untunglah harga yang ditawarkan masih dalam batas wajar. Disupiri seorang pemuda tinggi kurus asli Sendang Biru bernama Mas Dowo dia berpenampilan sangat necis dengan celana jeans model cutbray dan kaos lengan panjang tak lupa kacamata hitam di atas jidatnya menghiasi model rambut spike -nya, Mas Dowo tidak banyak berbicara hanya menjawab ketika ditanya dan dia pun hanya tersenyum-senyum kecil saat kami mulai bernyanyi sepanjang jalan. Mobil angkot yang kondisinya sudah tidak bagus itu berjalan kencang sekali membuat kami sedikit bergidik begitu melewati tikungan-tikungan yang tajam dan jalanan membelah ladang-ladang tebu yang luas sangat indah mengingatkan pada film Freddy and Jason – oh mungkin itu ladang jagung, sesekali kami berpapasan dengan truk-truk pengangkut tebu.

   Kami berhenti di depan pos area konservasi di tepi Pantai Sendang Biru, seperti yang diketahui Pulau Sempu adalah area konservasi yang kondisi alamnya harus benar-benar terjaga karena di dalamnya terdapat hutan sebagai habitat berbagai satwa liar, kami meminta izin dan ranger pun memberi sedikit pengarahan singkat tentang bagaimana arah jalan untuk mencapai Segara Anakan dan hal-hal yang dilarang dilakukan di Pulau Sempu. Kami menyebrang ke Pulau Sempu dari Pantai Sendang Biru sekitar pukul 3 sore menggunakan perahu nelayan selama kurang lebih 15 menit kami akhirnya sampai di Teluk Semut, terdapat banyak mangrove tumbuh disini, pasir putih dan batu karang pun menghiasi gerbang pertama di Pulau Sempu itu. Dari Teluk Semut kami memulai trekking membelah hutan, di pulau yang penghuninya satwa liar yang cantik ini hanya ada suara alam burung-burung diatas pepohonan yang tinggi dan suara langkah kami menyusuri jalanan setapak, membawa beban di ransel yang cukup berat karena kami akan berkemah benar-benar menguras tenaga trekking pun kami lalui dengan waktu tempuh hampir satu setengah jam. Tiba di Segara Anakan yang khas dengan lubang ditengah gugusan batu karang yang menghalangi secara langsung ombak dari Samudera Hindia itu dan air yang terkumpul dari ombak-ombak yang masuk kedalam lubang tersebut sebuah menjadi laguna yang tenang. Tetapi miris kesan pertama begitu sampai sekitar pukul setengah lima sore itu membuat patah hati karena sampah plastik berserakan dimana-mana juga air di Segara Anakan yang sedang mengalami surut, untunglah kera-kera di pepohonan yang sedang mengamati kami memberikan sedikit hiburan sore itu. 

 

  Dengan cepat kami bersiap untuk mendirikan tenda, tenda yang kami bawa adalah tenda regu pramuka pinjaman dari seorang teman dan patoknya lupa entah kemana jadilah tenda itu berdiri seadanya dengan hanya diikat pada batang pohon ke batang lainnya. Malam merambati waktu, kami mulai memasak untuk makan malam seadanya dengan mata yang terus memperhatikan ratusan kelalawar yang terbang mondar-mandir diatas Segara Anakan, sungguh eksotis.

  Pada hari ketiga ini kami sempat untuk bangun pada pukul setengah enam pagi, tapi air di Segara Anakan masih surut kami menunggu untuk pasang untuk bisa berenang, lalu tenda kami yang melorot itu seperti menghipnotis kami untuk kembali masuk dan memejamkan mata. Namun satu jam kemudian tiba-tiba terbangun oleh suara-suara ribut tawa lepas, matahari sudah mulai tinggi saat itu mungkin pukul tujuh lebih ternyata air sudah mulai pasang para laki-laki mulai naik ke tebing yang rendah lalu melakukan loncatan ke dalam air semua menikmati suasana di pagi itu, indah sekali cahaya matahari terpantul berkilauan dari riak-riak air dan akhirnya kami berenang!. Tak terasa waktu berjalan, melihat karang-karang menjulang yang gradasi warnanya terpantul cantik dan kami mulai tidak tahan untuk mendakinya tebing karang yang di sebelah timur Segara Anakan itu, dan yang kami dapatkan adalah pemandangan samudera lepas dengan zenith batas antara laut dan langit yang hanya dibedakan dengan warna biru tua dan biru muda serta dari atas tebing ini kami mendapatkan pemandangan penuh untuk Segara Anakan di kejauhan tenda kami terlihat kecil – dan masih melorot.  




  Setelah memasak makan siang kami tersadar, perbekalan air kami tidak cukup jika kami harus menginap kembali di Pulau Sempu, jadi sekitar pukul tiga sore kami memutuskan untuk pulang. Sambil mengepak barang-barang dan membersihkan sampah yang kami hasilkan beberapa dari kami sibuk memberikan sisa makanan yang layak pada kera-kera mereka pun akhirnya mengerubungi makanan yang kami berikan, matahari cerah sekali dan angin bersemilir menimbulkan suara gesekan dedaunan di hutan Pulau Sempu waktu kami berjalan pulang menyusuri jalanan setapak menuju kembali ke Teluk Semut – ah hati ini masih tertinggal rasanya di Segara Anakan. 

  Sampai kembali ke Pantai Sendang Biru kami berebut duluan mandi – maklum terakhir kami mandi waktu di Bandung sebelum berangkat. Hari mulai gelap dan suara musik dangdut khas pesisir terdengar sayup-sayup dari warung di sekitar pantai sangat aduhay. Selepas maghrib Mas Dowo kembali menjemput kami dengan angkot  kesayangannya itu dan dengan secepat kilat pula lah kami tiba di Pasar Turen, pasar ramai saat itu disini kami diperbolehkan makan soto ayam dulu sehabis itu kami diantarkan ke pusat kota. Rencananya dengan waktu yang sisa satu hari ini kami akan mengunjungi teman lama di Sidoarjo dan naik bus menuju Surabaya, tetapi bus menuju Surabaya hanya tersisa di Terminal Arjosari jadilah kami kembali naik angkutan umum karena kepalang sudah berpisah dengan Mas Dowo, di dalam angkutan terlihat kota Malang di malam hari yang begitu tenang pas didengar bersama suara-suara Waljinah atau Sam Saimun.

   Kami menaiki bus terakhir malam itu menuju Surabaya di dalam bus kami langsung terlelap nyenyak sekali. Masih setengah sadar waktu kernet membangunkan kalau kami sudah sampai di Terminal Purabaya atau Bungurasih itu sekitar pukul satu dini hari, di terminal paling sibuk di Indonesia ini teman kami Regi telah datang menjemput lalu kami naik angkutan ke rumah Regi di Sidoarjo yang mungkin jaraknya sekitar 10 kilometer. Di jalan kami mengobrol masalah bola, satu yang kami ingatkan untuk tidak mengungkit masalah bola apalagi sangkut pautnya dengan supporter-supporter yang fanatik tentunya akan menjadi masalah yang sensitif, kami belum sampai tempat yang Regi maksud untuk menurunkan kami tapi supirnya tiba-tiba menurunkan kami di tepi jalan dan meminta ongkos lebih dari yang telah disetujui, daerah itu masih cukup jauh untuk dicapai dengan jalan kaki kerumah Regi setelah kami sadar ternyata supirnya adalah salah satu supporter bola fanatik yang menurut kami dia sangat kontra dengan logat Sunda milik kami yang identik dengan Persib Bandung dan kebetulan yang tadi dijalan kami singgung adalah masalah persahabatan antara supporter Persib dan Persebaya milik Surabaya, dan – oh ternyata masalah sensitif itu tak hanya menyinggung mengenai SARA saja, masalah sepak bola juga  bisa bikin jadi jalan jauh dan ongkos yang tiba-tiba naik. 
  Sampai dirumah Regi sudah larut, kami mengobrol sebentar ditemani nyamuk-nyamuk dan secangkir kopi suguhan. Pada pagi hari kami tidak bangun pagi-pagi karena tidak ada cahaya yang menerobos atau suara tawa yang membangunkan pagi ini hanya terdengar suara siaran berita pagi dari televisi di ruang tengah dan ide gila itu pun tercetus, kami yang awalnya hanya akan berkeliling kota tiba-tiba memutuskan untuk menyewa mobil selama dua belas jam untuk pergi ke Gunung Bromo. Lantas ide nekat ini pun terealisasikan, sepanjang perjalanan hanya berpapasan dengan truk-truk gandeng dan kontainer yang super besar dan super kencang, wajar saja daerah Sidoarjo adalah salah satu daerah industri di pulau Jawa dan jalanan mulai berdebu terlebih ketika kami mulai melewati bangunan-bangunan yang tidak terawat seperti yang begitu saja ditinggalkan, tak lama tanggul yang tinggi terlihat di tepi jalan kami tiba di Porong, Sidoarjo. Miris sekali melihatnya lumpur yang semakin lama semakin banyak akan menjadi bom waktu bagi penduduk disekitarnya. 

   Mobil kami menyalip truk pengangkut semen di tanda marka jalan yang seharusnya tidak diperbolehkan menyalip, lalu peluit polisi bunyi begitu nyaring dan bapak polisi yang berkumis itu sudah ada ditengah jalan memberhentikan mobil kami, setelah panjang lebar menjelaskan akhirnya kami memilih jalan damai karena jika di tilang dengan resiko SIM harus ditahan dan menghadiri sidang, padahal kami harus pulang besok pagi. Setelah insiden itu kami berkendaraan sangat hati-hati dan menaati rambu-rambu sepanjang jalan Sidoarjo – Probolinggo, lalu jalan berbelok ke kanan sawah ladang mulai kentara begitu kami memasuki daerah berkelok-kelok menuju Gunung Bromo, jalanan naik dan menurun menjadi dominan di jalur ini, dan baru sekitar lima sore udara dingin memasuki mobil, kaca sengaja kami buka demi mendapatkan sensasi udara sesegar ini kabut mulai bergelantungan di kaki-kaki bukit yang saling manjang-memanjang tidak terputus itu, bukit-bukit ini terlihat seperti benteng-benteng yang maha indah berwarna hijau zamrud seperti dalam cerita dongeng yang berakhir indah. Tak lama mobil pun kami parkirkan, sayang kami datang sore hari karena sudah tidak ada penyewaan jeep untuk turun ke zona Pasir Berbisik, mobil pribadi tidak diperkenankan turun ke bawah jadi kami hanya menikmati matahari tenggelam dan kawah Bromo dari kejauhan saja, tapi alam seolah membayar kesedihan kami matahari terbenam meninggalkan semburat oranye yang indah di barat sana digantikan kerlipan cahaya bintang dimalam yang cerah ini tanpa polusi cahaya dan tanpa sedikit pun awan yang menutupinya menjadi pengalaman stargazing paling indah dari pengalaman stargazing lainnya. 

   Meninggalkan Bromo malam itu dengan perasaan sedih, jalanan yang dilalui terasa lebih cepat kami pun sampai di pusat kota Surabaya sekitar pukul sebelas malam dimana muda-mudi masih berseliweran, kami pun ikut ngopi dan nongkrong  dengan atmosfer rasa kota Surabaya. Salah satu kota besar di Indonesia ini menurut kami cukup rapih dan bersih juga nyaman mungkin sudah ada perhatian khusus untuk hal-hal tersebut.
  Baru pukul satu malam kami sampai dirumah Regi lagi, membereskan dan tidur sekejap sekali sampai kepala terasa sangat pusing ketika bangun pukul empat shubuhnya lalu mengejar kereta api yang dijadwalkan berangkat pukul enam pagi itu, Regi menyarankan kami untuk naik lewat Stasiun Wonokromo karena Stasiun Gubeng terlalu jauh jaraknya, jam di tangan menunjukan pukul lima lebih dua puluh menit dan angkot yang kami tumpangi berjalan pelan sekali mencari penumpang mulai panik sembari menyindir-nyindir bapak supir agar lebih cepat mengemudi lebih baik. Kereta baru akan tiba di Stasiun Wonokromo sekitar sepuluh menit lagi kami menunggu dengan nafas yang masih sedikit tersenggal-senggal padahal ini belum apa-apa di bandingkan dengan enam belas jam yang akan datang di kereta api kelas ekonomi. 

  Udara panas menjalar di seantero gerbong dan hanya menyisakan pemandangan-pemandangan yang silih berganti dengan cepat lewat kaca jendela, akhirnya selepas kereta melewati Kota Jogja kami berpindah dari tempat duduk masing-masing ke restorasi, di restorasi kami mengobrol banyak hal dengan koki kereta api, kondektur kereta api dan kru-kru lainnya menceritakan susah senang mereka di dalam kereta api, melihat apa yang digambarkan raut muka mereka pastilah cerita mereka seperti sepanjang jalur Surabaya-Bandung dan seperti kami yang akan selalu mengkisahkan kisah ini kelak. 





Untuk : Larissa Augusta, Nugraha Anwar Huda, Adi Mulyadi, Candra Dwi Cahyadi, Ega Ilman Fahmi Ternate, Boby Setiadi dan juga untuk Regi Erba Arsian - Terimakasih.

Jumat, 21 Maret 2014

Satu Hari, Menyusuri Jalur Menuju Rancabuaya


"Di padang rumput yang luas itu gerombolan sapi-sapi itu sedang makan, mungkin sarapan karena saat itu hari masih pagi dan matahari bersinar hangat, sangat beruntung cuaca cerah lanskap Gunung Papandayan benar-benar agung di utara, juga Samudera Hindia begitu luas terbentang di selatan." 

  Tas ransel yang saya gendong sedikit kebasahan siang itu hujan mengiringi perjalanan kami menuju Pantai Rancabuaya yang berada kurang lebih 143 km dari kota Bandung, melewati jalur Pangalengan menjadi bagian epic dalam perjalanan kali ini karena hanya bermodalkan cerita tanpa GPS dan mencari informasinya sendiri di internet dan itu pun masih minim. 
  Saat kami melewati Situ Cileunca yang tenang hujan gerimis dan kabut menyambut kami, pohon-pohon cemara menjadi basah oleh kabut, segerombolan anak sekolah berlari-lari riang tanda usai jam pelajaran mereka berjalan kaki bersama-sama dan lalu kami tahu jarak rumah mereka tidak dekat dengan sekolah karena pemukiman penduduk baru ada sekitar 2km-3km dari sekolah yang baru kami lewati itu. Pada pandangan pertama selama 15 menit ini begitu menakjubkan perkebunan teh yang begitu luas dari bukit ke bukit saling menyambung tiada tahu dimana akhirnya aroma teh begitu tajam tercium ketika kami melewati pabrik teh Cukul, disini teh-teh yang dipetik lalu kemudian diolah pada ketinggian diatas 1600 meter diatas permukaan laut ini tanaman teh jelas akan tumbuh subur juga akan menghidupi orang-orang disekitarnya kentara terlihat dengan rumah-rumah karyawan pabrik berderet rapi yang di halamannya ditumbuhi aneka bunga-bungaan, anak-anak kecil bermain di tengah lapang dalam cuaca berkabut seperti ini. 
  Motor yang kami kendarai berjalan sedikit berhati-hati karena menghindari tanah-tanah yang longsor dari tebing akibat hujan, memang sangat disarankan sebenarnya untuk tidak melewati jalur ini ketika musim penghujan tiba tapi untuk sekarang ini musim memang sulit ditebak. kontur tanah yang tidak padat memang mengkhawatirkan pengguna jalan yang sewaktu-waktu bisa saja jalur terputus karena ada longsor, mungkin untuk alasan itu pula jalanan ini sepi dari kendaraan yang melintas meskipun jalanan dalam kondisi aspal yang baik. 
  Setelah memasuki hutan khas tropis dengan jenis tanaman heterogen di punggungan Gunung Papandayan cuaca pun mulai bersahabat tak lama kami memasuki Kecamatan Cisewu, daerah ini salah satu dari daerah yang akan dilewati ketika kita melewati jalur Bandung – Rancabuaya selama perjalanan beberapa kali kami menemukan aliran-aliran sungai yang masih jernih juga sawah-sawah terasering yang bertingkat, sangat menarik perhatian kami adalah beberapa rumah yang masih tradisional terbuat dari kayu kami temui yang dihalaman depannya terdapat balong – sebutan orang Sunda untuk kolam, mengingatkan tipikal rumah orang Suku Sunda dimasa lalu yang menjadi latar cerita Si Kabayan.
  Matahari yang sedikit tertutup awan sudah sedikit condong ke barat, kami bertemu sekelompok pemuda yang sedang memperbaiki jalan antar kabupaten ini aspal pun masih hitam panas pertanda baru tadi siang digunakan untuk memperbaiki jalan, syukurlah ada pembangunan juga di daerah yang cukup jauh dari pusat kota ini. Di kejauhan nyiur melambai-lambai dan bau khas pesisir mulai tercium kami ada di atas bukit karang! – dan itu di hadapan kami terbentang luas Samudera Hindia dengan ombak yang saling menggulung memecah di garis pantai yang panjang, jalanan menurun untuk kami sampai di Pantai Rancabuaya. 

  Dan Pantai Rancabuaya sore ini nampak sepi hanya beberapa nelayan yang baru selesai melaut dengan membereskan hasil tangkapannya di tempat pelelangan ikan, para wanita dari berbagai usia tua muda dan anak-anak nongkrong di teras warung sambil menikmati tiupan angin laut mereka semuanya menawarkan untuk kami mampir di warungnya, di pantai dengan jenis pantai karang ini pengunjung tidak disarankan berenang di laut selain arus laut yang deras juga batu-batu karang yang tajam akan mengancam. Tidak jauh terdapat tebing yang ketinggiannya mencapai sekitar 20 meter, kami ada dibawahnya dan kami melihat ada jalan keatas menuju tebing mungkin baru esok pagi akan kami lihat. 
  Malam di Rancabuaya dilewatkan dengan meminum kopi di warung kecil tepi pantai, di warung ini tinggal satu keluarga si bapak seorang nelayan dan dua dari beberapa anaknya ikut dengan mereka tinggal di warung ini, anaknya perempuan berumur sekitar 4 tahun dan 7 tahunan mengintip kami malu-malu dari balik tirai sambil menonton acara sinetron televisi yang siarannya lebih banyak menampilkan semut, mereka adalah sebuah keluarga yang datang dari Kabupaten Garut dan mencari peruntungan disini, di Pantai Rancabuaya menurut si bapak tidak ada penduduk asli Rancabuaya hampir semua rata-rata adalah orang yang datang untuk mencari pekerjaan entah menjadi nelayan, membuka warung atau pun penjaga villa malah si pemilik kamar tempat kami menginap adalah orang yang datang dari daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung dari semua aspek betapa kegiatan pariwisata menjadi bagian penting dalam putaran ekonomi di Pantai Rancabuaya ini, dan sekarang bukan sedang musim liburan karena disekolah sedang berlangsung minggu-minggu ujian akhir sehingga si bapak mengaku warung-warung dan villa menjadi sepi pengunjung. si ibu pemilik warung  melayani kami dengan ramah, hanya ada suara kami mengobrol, suara dari televisi dan suara debur ombak lalu selebihnya hanya sunyi.    

   Pada hari kedua, kami bangun kesiangan tidak ada matahari pagi yang sempat kami lihat sungguh sangat disayangkan mengingat ini adalah pantai yang memiliki tebing yang tinggi memungkinkan untuk melihat matahari terbit dengan sempurna, jadi kami hanya mandi dan sarapan di warung, bertemu seorang bapak bernama Rismawan dia menceritakan pantai-pantai cantik yang bisa dikunjungi didekat sini Pak Rismawan menceritakan Pantai Cidaun yang berada dekat dari Pantai Rancabuaya, letaknya di perbatasan antara Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur sebelah selatan, Pantai Cidaun juga memiliki garis pantai yang panjang menurutnya tidak jauh dari Pantai Rancabuaya juga terdapat Goa Lalay – lalay memiliki arti kelalawar dalam bahasa sunda. 
  Setelah sarapan dan mengobrol banyak kami mendekati laut yang pasir putihnya sedikit menyilaukan mata itu di pinggirannya hanya batu-batu karang seperti benteng yang memecah ombak tak sampai membasahi pasir-pasir putih itu, dan hal yang tidak kami sadari sejak sore kemarin adalah dari tebing yang tinggi itu muncul air terjun kecil membuat tebing semakin eksotis. Kami mengendarai motor menyusuri jalanan menanjak yang sempat membuat kami penasaran kemarin motor melaju hampir turun lagi karena tidak kuat, dan setelah sampai diatas tebing padang rumput yang luas pun kami temui. 

  Di padang rumput yang luas itu gerombolan sapi-sapi itu sedang makan, mungkin sarapan karena saat itu hari masih pagi dan matahari bersinar hangat, sangat beruntung cuaca cerah lanskap Gunung Papandayan benar-benar terlihat jelas nan agung di utara tanpa awan sedikit pun menyembunyikannya, juga Samudera Hindia begitu luas terbentang di sebelah selatan, tak jauh dari padang rumput tanah yang luas itu ditanami jagung, kami berdiri diatas tebing disebuah padang rumput dimana jika berada disini tidak ada alasan seorang pun untuk tidak terpesona. Hal yang disayangkan nomor dua adalah tidak jadi membawa peralatan outdoor seperti tenda dan peralatan lainnya itu bisa direncanakan untuk perjalanan berikutnya, karena tanah lapang yang luas seperti ini sangat memungkinkan untuk membuat tenda, semoga ada lagi kesempatan kami untuk lebih mengeksplorasi daerah selatan Jawa Barat ini karena pesisir selatan Jawa selalu memiliki daya tarik yang kuat memanggil untuk menyusurinya karena pantai-pantainya yang terkenal indah dan masih sepi – bukankah itu yang selalu kita cari?. 

untuk teman perjalanan (hidup) yang selalu menyenangkan







Jumat, 07 Maret 2014

Hallo!

" hallo " 
mungkin salah satu kata yang dapat mencairkan suasana canggung diantara kita yang tidak saling mengenal, kata 'hallo' juga  menjadi sapaan khas ketika tangan lama tak saling menjabat dan mata yang lama tak saling menatap. 
'hallo' disini untuk kamu. ya untuk kamu - kamu yang selalu ingin saya sapa dengan hangat meskipun kini  sedang diguyur hujan, dan inilah romansanya ditengah hujan lalu kita saling menyapa. salam kenal! selamat jumat sore, karena jumat sore waktunya packing and moving

salam hangat , semoga pertemuan ini menjadi sangat berharga.