Jumat, 08 Mei 2015

760 KM - Angin Menebar Cerita Sampai Timur : Bagian Berangkat

Kami tak tahu ia mengalir ke selatan atau utara – Sapardi Djoko Damono ‘ Sungai, Tabanan (1973)’

                Cerita ini dimulai dari perpisahan, perpisahan pada kota yang menghadirkan kenangan selama enam bulan, singkat memang seperti kamu begitu saja melahap kue pukis yang masih hangat. Tapi kota ini seperti mantan gebetan yang dulu kamu sering dibuatnya rindu.
                Dan hari menunjukan pukul sebelas siang, itu saya naik motor diantara debu-debu Jalan Laksamana Adisucipto, Yogyakarta hari itu satu hari di bulan Januari yang siklus hujannya lebih sering datang tiba-tiba waktu sore-sore dan siangnya matahari terik sekali. Dengan perasaan sedih saya pergi ke timur, ke Sragen sebagai destinasi pertama saya dalam rencana naik motor ke Bali ini, ya Bali ! karena si partner perjalanan saya kali ini ingin menemui gebetannya yang cantik sedang training disana, oke jadilah saya ikut niat mulia ini, naik motor ke Bali dan bilang sama ibu kalau sudah sampai aja. Perjalanan ditempuh selama dua setengah jam, kami tiba di Sragen kalau kamu bertanya Sragen itu kota yang terletak dimana coba buka peta, Sragen ada disebelah timur Solo sering disebut “Tlatah Sukowati” dengan gambaran kota yang indah dan Sragen terbuat dari sepi mayoritas masyarakatnya merantau ke kota-kota besar di Jawa Tengah atau ke Jakarta waktu itu saya tiba disana siang-siang saya kira karena ini jam tidur siang lantas sepi ternyata waktu sore harinya juga sepi, nyaman buat kamu yang gak suka tempat yang bising. Di Sragen ada Museum Sangiran, adalah museum yang menyimpan koleksi fosil purbakala dan ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia nomor 593 karena bayangin aja ada hampir 50% fosil diseluruh dunia ditemukan di situs Sangiran ini beruntung banget masyarakat Sragen dekat dengan nenek moyang manusia. Oke kamu boleh bilang wow. Semalam di Sragen untuk menyiapkan motor juga karena hujan kami menginap dirumah nenek, rumah-rumah jawa tempo dulu yang halamannya dipenuhi tabung gas elpiji 3 kilogram.
Nenek dan Kambing di Sambung Macan, Sragen

Rumah nenek - Next Plan Home. Sambung Macan, Sragen
                Berangkat pukul satu siang dari  Sambung Macan, Sragen melewati Matingan yang didominasi oleh pohon jati di kanan dan kiri jalan juga bus antar provinsi yang super cepat kami juga melewati Museum Trinil, tak lama kami disambut gerbang selamat datang di Provinsi Jawa Timur dengan kota Ngawi sebagai garda depan menyambut dengan hangat, dan Ngawi mengingatkan saya secara personal pada helm kesayangan saya yang bertempelkan stiker tulisan “Ngawi Hardcore” didapat dari seorang teman yang melakukan band tour antar kota, ya sebagai bukti skena hardcore di Ngawi eksis juga. Ciee.
Selamat Datang Ngawi !
                Istirahat pertama kami di salahsatu minimarket di Kecamatan Caruban, Ngawi. Caruban adalah persimpangan kearah kanan menuju Madiun dan kearah kiri menuju Nganjuk, karena jalan yang dipilih akan melalui Nganjuk lalu Jombang – Mojokerto – Sidoarjo jadi kami memilih yang kiri, meskipun katanya kanan lebih baik. Sampai di Porong Sidoarjo sekitar jam tujuh malam dan hujan ban bocor pula jadilah sambil berteduh sambil menambal ban, melihat Porong sama seperti melihat bom waktu tiap detik disana adalah waspada bencana, ya saya tahu kamu juga pasti tahu disana ada bencana lumpur Lapindo. Ngeri.

Dimana aja kali
                Untunglah melewati Pasuruan lalu Probolinggo hujan tidak lagi mengguyur cuaca cerah banyak bintang, akhirnya setelah sepuluh jam perjalanan kami tiba di Situbondo dan makan malam nasi goreng di depan alun-alun Situbondo bonus uang dua puluh ribu dibawah tikar. Tak lama huruf-huruf bertuliskan ‘TN Baluran’ menyambut kami dengan vegetasi khasnya savana yang kering itu dan terkenal disebut ‘a little Africa from Java’,perlu diingat itu bulan Januari jadi gak sekering bulan September, berjalan melewati hutan dalam gelap itu jam dua dini hari mepet sama truk-truk yang mau nyebrang ke Bali karena khawatir dengan hal buruk dan akhirnya setelah 45 menit kami sampai di pom bensin daerah Batangan, Banyuwangi dan istirahat sambil nunggu pagi. Enaknya pom bensin sepanjang jalur selatan atau utara pom bensin biasanya menyediakan gazebo untuk supir-supir truk istirahat sebentar, jadilah saya ikut tidur bareng supir-supir truk itu.

                Jam enam pagi setelah agak seger sedikit kami melanjutkan perjalanan melewati pasar pagi yang ramai di Bajulmati dan disisi kiri jalan kilauan sinar matahari menimpa riak ombak kecil di laut, selamat datang di Watudodol ! saya disambut patung penari Gandrung dan makanan sejenis nasi kucing yang dibungkus berisi telur dadar juga sambal dijual di depan Stasiun Banyuwangi Baru oleh seorang bapak menggunakan sepeda. Sedap.
Banyuwangi dulu kali

 Titik Timur Kereta Api Pulau Jawa - Stasiun Banyuwang Baru

Stasiun Banyuwangi Baru - ada Raung dan Merapi malu-malu
                Menyebrang menggunakan kapal ferry di Pelabuhan Ketapang, pelabuhan terbuat dari ramai orang-orang yang mengejar waktu jam kerja malah ada seorang mbak-mbak yang lari karena jembatan penghubung kapal dengan dermaga hampir ditutup, mbak istighfar mbak. Dan sampailah kita di Pulau Bali jadi inget lagu si Cindy Cenora yang hits banget itu loh pasti kamu hafal, itu jam 9 WITA padahal tadi nyebrang gak sampai satu jam jadilah kita lebih tua satu jam karena nyebrang ke Bali.

Di batas waktu , Selat Bali

tenang banget - West Bali National Park

                Melewati jalur selatan pulau Bali kita menemui West Bali National Park, taman nasional di ujung barat pulau Bali ini didominasi oleh belukar khas pesisir pantai  juga pepohonan yang rimbun dipinggiran jalan, jalanan sepi total dan sinar matahari pagi menembus pepohonan, kalau kamu yang biasa hidup di kota industri kaya saya kamu pasti ngerasa pemandangan ini mewah banget. Dan lalu kami makan pagi – si nasi bungkus yang tadi beli di Stasiun Banyuwangi Baru itu di daerah Mendoyo, Kabupaten Negara makan pagi dipinggir pantai sambil istirahat sebentar karena hawa yang sejuk daritadi itu bikin mata agak berat.
                Lalu kami sampai di Mengwi, Kabupaten Tabanan sekitar tengah hari sambil mandi dulu di pom bensin. Hawa Mengwi siang itu panas menyengat tapi namanya juga di Bali hawa panas juga hawa-hawa liburan, dan kami sampai di Denpasar! Terakhir saya ke Bali itu sekitar tiga tahun yang lalu dan saya sedikit shock culture, emang efek kelamaan di Cimahi jadi sedikit gugup waktu di Legian dan yang bikin gugup satu lagi adalah Jalan Tol Bali – Mandara ! jalan tol yang dibuat diatas laut sepanjang 12,7 km ini menghubungkan Nusa Dua, Ngurah Rai dan Benoa memiliki jalur khusus untuk sepeda motor sehingga kamu bakal lebih katro karena sibuk teriak-teriak sambil nyetir. Disisi kiri didominasi oleh hutan mangrove dan dikanan pemandangan kota juga kapal-kapal pesiar yang sedang bersandar. Epic!.
                Destinasi pertama begitu sampai di Bali adalah Pantai Pandawa, pantai yang berada dibalik dua tebing ini memang memiliki patung kelima Pandawa berukuran raksasa ditambah patung Dewi Kunti, itu sekitar jam tiga sore dan cuaca sedang bagus ombak juga gak terlalu tinggi jadilah saya berenang sambil melihat batas zenith antara laut dengan langit yang biru sore itu, lagi-lagi Tuhan sedang jatuh cinta waktu membuat Bali!
Sunnyshiny day - Jalan Tol Bali Mandara
Blue Zenith - Pantai Pandawa
                Malamnya kami menunggu si dia yang ditunggu, partner saya agak harap-harap cemas menunggu di Pantai Kuta sambil memandang hotel tempat si dia training, jadilah saya nyanyi Denpasar Moon sama Kuta Bali dari Andre Hehanusa, partner saya keki. Gak lama karena bosan menunggu jadilah kami muter-muter dan jalan kaki ke Legian, Legian gak terlalu penuh seperti bulan Juli atau November jalanan juga cukup bersahabat malam itu, menunggu di salahsatu minimarket karena gak suka dugem atau motifnya lebih ke motif alasan ekonomi ya jadi nunggu di mini market aja dan gak lama datanglah dua diantara temannya si dia yang menjemput kami sekitar jam sepuluh malam, menyarankan kami menginap di kostannya yang dihuni oleh mereka bertiga termasuk si dia. Dan karena gak bisa bikin akhir cerita yang indah bak cerita dongeng, akhirnya janji partner saya sama si dia untuk datang ke Bali terpenuhi. Ah senangnya menjadi bagian dari misi ini.

and they are happily ever after 

PS : Waktu nulis ini saya sambil sarapan ketoprak yang dijual oleh sepasang suami istri romantis banget mana si ibu dan bapaknya doyan bercanda, dan oh iya anak perempuan saya yang lagi susah disuruh mandi.


Jarak Tempuh Jogja ke Denpasar :
Yogyakarta – Klaten – Solo = 58 Km
Solo-Sragen-Mantingan –Ngawi = 74 Km
Mgawi-Caruban-Nganjuk-Kertosono=88km
Kertosono-Jombang-Surabaya= 96 Km
Surabaya-Sidoarjo-Gempol-Bangil-Pasuruan=64 Km
Pasuruan-Probolinggo-Situbondo-Ketapang = 246 Km
Gilimanuk-Negara-Tabanan = 108 Km
Tabanan – Denpasar = 26 Km