Jumat, 21 Maret 2014

Satu Hari, Menyusuri Jalur Menuju Rancabuaya


"Di padang rumput yang luas itu gerombolan sapi-sapi itu sedang makan, mungkin sarapan karena saat itu hari masih pagi dan matahari bersinar hangat, sangat beruntung cuaca cerah lanskap Gunung Papandayan benar-benar agung di utara, juga Samudera Hindia begitu luas terbentang di selatan." 

  Tas ransel yang saya gendong sedikit kebasahan siang itu hujan mengiringi perjalanan kami menuju Pantai Rancabuaya yang berada kurang lebih 143 km dari kota Bandung, melewati jalur Pangalengan menjadi bagian epic dalam perjalanan kali ini karena hanya bermodalkan cerita tanpa GPS dan mencari informasinya sendiri di internet dan itu pun masih minim. 
  Saat kami melewati Situ Cileunca yang tenang hujan gerimis dan kabut menyambut kami, pohon-pohon cemara menjadi basah oleh kabut, segerombolan anak sekolah berlari-lari riang tanda usai jam pelajaran mereka berjalan kaki bersama-sama dan lalu kami tahu jarak rumah mereka tidak dekat dengan sekolah karena pemukiman penduduk baru ada sekitar 2km-3km dari sekolah yang baru kami lewati itu. Pada pandangan pertama selama 15 menit ini begitu menakjubkan perkebunan teh yang begitu luas dari bukit ke bukit saling menyambung tiada tahu dimana akhirnya aroma teh begitu tajam tercium ketika kami melewati pabrik teh Cukul, disini teh-teh yang dipetik lalu kemudian diolah pada ketinggian diatas 1600 meter diatas permukaan laut ini tanaman teh jelas akan tumbuh subur juga akan menghidupi orang-orang disekitarnya kentara terlihat dengan rumah-rumah karyawan pabrik berderet rapi yang di halamannya ditumbuhi aneka bunga-bungaan, anak-anak kecil bermain di tengah lapang dalam cuaca berkabut seperti ini. 
  Motor yang kami kendarai berjalan sedikit berhati-hati karena menghindari tanah-tanah yang longsor dari tebing akibat hujan, memang sangat disarankan sebenarnya untuk tidak melewati jalur ini ketika musim penghujan tiba tapi untuk sekarang ini musim memang sulit ditebak. kontur tanah yang tidak padat memang mengkhawatirkan pengguna jalan yang sewaktu-waktu bisa saja jalur terputus karena ada longsor, mungkin untuk alasan itu pula jalanan ini sepi dari kendaraan yang melintas meskipun jalanan dalam kondisi aspal yang baik. 
  Setelah memasuki hutan khas tropis dengan jenis tanaman heterogen di punggungan Gunung Papandayan cuaca pun mulai bersahabat tak lama kami memasuki Kecamatan Cisewu, daerah ini salah satu dari daerah yang akan dilewati ketika kita melewati jalur Bandung – Rancabuaya selama perjalanan beberapa kali kami menemukan aliran-aliran sungai yang masih jernih juga sawah-sawah terasering yang bertingkat, sangat menarik perhatian kami adalah beberapa rumah yang masih tradisional terbuat dari kayu kami temui yang dihalaman depannya terdapat balong – sebutan orang Sunda untuk kolam, mengingatkan tipikal rumah orang Suku Sunda dimasa lalu yang menjadi latar cerita Si Kabayan.
  Matahari yang sedikit tertutup awan sudah sedikit condong ke barat, kami bertemu sekelompok pemuda yang sedang memperbaiki jalan antar kabupaten ini aspal pun masih hitam panas pertanda baru tadi siang digunakan untuk memperbaiki jalan, syukurlah ada pembangunan juga di daerah yang cukup jauh dari pusat kota ini. Di kejauhan nyiur melambai-lambai dan bau khas pesisir mulai tercium kami ada di atas bukit karang! – dan itu di hadapan kami terbentang luas Samudera Hindia dengan ombak yang saling menggulung memecah di garis pantai yang panjang, jalanan menurun untuk kami sampai di Pantai Rancabuaya. 

  Dan Pantai Rancabuaya sore ini nampak sepi hanya beberapa nelayan yang baru selesai melaut dengan membereskan hasil tangkapannya di tempat pelelangan ikan, para wanita dari berbagai usia tua muda dan anak-anak nongkrong di teras warung sambil menikmati tiupan angin laut mereka semuanya menawarkan untuk kami mampir di warungnya, di pantai dengan jenis pantai karang ini pengunjung tidak disarankan berenang di laut selain arus laut yang deras juga batu-batu karang yang tajam akan mengancam. Tidak jauh terdapat tebing yang ketinggiannya mencapai sekitar 20 meter, kami ada dibawahnya dan kami melihat ada jalan keatas menuju tebing mungkin baru esok pagi akan kami lihat. 
  Malam di Rancabuaya dilewatkan dengan meminum kopi di warung kecil tepi pantai, di warung ini tinggal satu keluarga si bapak seorang nelayan dan dua dari beberapa anaknya ikut dengan mereka tinggal di warung ini, anaknya perempuan berumur sekitar 4 tahun dan 7 tahunan mengintip kami malu-malu dari balik tirai sambil menonton acara sinetron televisi yang siarannya lebih banyak menampilkan semut, mereka adalah sebuah keluarga yang datang dari Kabupaten Garut dan mencari peruntungan disini, di Pantai Rancabuaya menurut si bapak tidak ada penduduk asli Rancabuaya hampir semua rata-rata adalah orang yang datang untuk mencari pekerjaan entah menjadi nelayan, membuka warung atau pun penjaga villa malah si pemilik kamar tempat kami menginap adalah orang yang datang dari daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung dari semua aspek betapa kegiatan pariwisata menjadi bagian penting dalam putaran ekonomi di Pantai Rancabuaya ini, dan sekarang bukan sedang musim liburan karena disekolah sedang berlangsung minggu-minggu ujian akhir sehingga si bapak mengaku warung-warung dan villa menjadi sepi pengunjung. si ibu pemilik warung  melayani kami dengan ramah, hanya ada suara kami mengobrol, suara dari televisi dan suara debur ombak lalu selebihnya hanya sunyi.    

   Pada hari kedua, kami bangun kesiangan tidak ada matahari pagi yang sempat kami lihat sungguh sangat disayangkan mengingat ini adalah pantai yang memiliki tebing yang tinggi memungkinkan untuk melihat matahari terbit dengan sempurna, jadi kami hanya mandi dan sarapan di warung, bertemu seorang bapak bernama Rismawan dia menceritakan pantai-pantai cantik yang bisa dikunjungi didekat sini Pak Rismawan menceritakan Pantai Cidaun yang berada dekat dari Pantai Rancabuaya, letaknya di perbatasan antara Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur sebelah selatan, Pantai Cidaun juga memiliki garis pantai yang panjang menurutnya tidak jauh dari Pantai Rancabuaya juga terdapat Goa Lalay – lalay memiliki arti kelalawar dalam bahasa sunda. 
  Setelah sarapan dan mengobrol banyak kami mendekati laut yang pasir putihnya sedikit menyilaukan mata itu di pinggirannya hanya batu-batu karang seperti benteng yang memecah ombak tak sampai membasahi pasir-pasir putih itu, dan hal yang tidak kami sadari sejak sore kemarin adalah dari tebing yang tinggi itu muncul air terjun kecil membuat tebing semakin eksotis. Kami mengendarai motor menyusuri jalanan menanjak yang sempat membuat kami penasaran kemarin motor melaju hampir turun lagi karena tidak kuat, dan setelah sampai diatas tebing padang rumput yang luas pun kami temui. 

  Di padang rumput yang luas itu gerombolan sapi-sapi itu sedang makan, mungkin sarapan karena saat itu hari masih pagi dan matahari bersinar hangat, sangat beruntung cuaca cerah lanskap Gunung Papandayan benar-benar terlihat jelas nan agung di utara tanpa awan sedikit pun menyembunyikannya, juga Samudera Hindia begitu luas terbentang di sebelah selatan, tak jauh dari padang rumput tanah yang luas itu ditanami jagung, kami berdiri diatas tebing disebuah padang rumput dimana jika berada disini tidak ada alasan seorang pun untuk tidak terpesona. Hal yang disayangkan nomor dua adalah tidak jadi membawa peralatan outdoor seperti tenda dan peralatan lainnya itu bisa direncanakan untuk perjalanan berikutnya, karena tanah lapang yang luas seperti ini sangat memungkinkan untuk membuat tenda, semoga ada lagi kesempatan kami untuk lebih mengeksplorasi daerah selatan Jawa Barat ini karena pesisir selatan Jawa selalu memiliki daya tarik yang kuat memanggil untuk menyusurinya karena pantai-pantainya yang terkenal indah dan masih sepi – bukankah itu yang selalu kita cari?. 

untuk teman perjalanan (hidup) yang selalu menyenangkan







Tidak ada komentar:

Posting Komentar