Jumat, 28 Maret 2014

Sekalian Ke Timur Jawadwipa

   Panggilan dari pengeras suara di stasiun kereta api Bandung memanggil penumpang kereta api Malabar Express tujuan Kota Malang sore itu tapi salah satu dari kami belum juga tiba kecemasan pun muncul menghinggapi , syukurlah di menit-menit terakhir kami semua lengkap. Kereta api berjalan kearah timur pada sore yang cerah itu matahari pukul empat sore masih terik di barat, hari itu satu hari di bulan September menurut salah seorang dosen geografi di universitas waktu terbaik menikmati matahari adalah bulan September dan Maret karena pada setiap tanggal 22 di bulan September dan Maret matahari akan berada ditengah garis khatulistiwa jadi tujuan kami ke Pulau Sempu di Malang menjadi pilihan terbaik menikmati salah satu dari dua kali fenomena dalam setahun tersebut. 

  Hari berubah menjadi gelap ketika kereta memasuki daerah Tasikmalaya lampu-lampu kota terlihat seperti iklan yang cepat berlalu, saat itu aturan di kereta api sudah sangat ketat tidak ada rokok, tidak ada pedagang asongan ( lalu sambil berfikir, kerja apa mereka sekarang setelah dilarang berjualan di kereta api? ) peraturan ini berlaku untuk semua kelas dari ekonomi hingga eksekutif memesan tiket pun lebih sistematis untuk menghindari percaloan, mungkin ada hal baik dan buruknya dari peraturan yang baru ini juga ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan atau dirugikan.
  Melewati Jogja ditengah malam jalanan terlihat lenggang dari kaca jendela kereta kota yang penuh romantisme ini mungkin sedang beristirahat dari segala bentuk hiruk dan pikuknya, sejauh ini Jogja-lah biasanya jarak yang paling jauh kami tempuh oleh kereta karenanya ini pengalaman pertama untuk kami semua ber-kereta api lebih jauh dari biasanya, kota-kota dilalui dengan begitu cepat stasiun kecil stasiun besar dan akhirnya dini hari di Madiun, penasaran dengan nasi pecel yang menjadi primadona itu akhirnya kami coba membelinya dengan melakukan transaksi jual beli melalui jendela kereta dan makan dengan sangat lahap seperti baru kali ini menemukan nasi.
  Terbangun oleh sinar matahari yang masuk melalui jendela sangat menyilaukan mata lalu terpukau melihat sepanjang kiri dan kanan rel dihiasi oleh hutan jati yang meranggas daun-daunnya berguguran, tidak lama kemudian sekitar lima kilometer dari Stasiun Sumberpucung kami melewati dua terowongan yaitu Eka Bhakti Karya  sepanjang 760 meter dan Dwi Bhakti Karya sepanjang 400 meter disamping terowongan yang dibangun pada tahun 1969 ini terdapat Bendungan Ir. Sutami atau masyarakat setempat biasa menyebutnya Waduk Karang Kates. 
  
  Matahari perlahan mulai naik padi di petak-petak sawah pun terlihat mulai menguning dan merunduk, baru sekitar pukul 7 pagi kami sampai di Stasiun Kota Malang dan mereservasi tiket untuk kepulangan ke Bandung, dan kami mendapatkan tiket pulang untuk tiga hari lagi dari Stasiun Gubeng, Surabaya. Kesan pertama sampai di kota yang memiliki julukan Parijs van East Java pada saat jaman kolonial ini sangat mengagumkan sayang tidak banyak waktu untuk melipir ke sudut-sudut indahnya kami langsung menuju Terminal Gadang menggunakan angkutan kota dari sana menaiki Bus menuju Pasar Turen, di pasar tradisional ini kami membeli sedikit perbekalan untuk berkemah di Pulau Sempu tetapi tidak itu saja di salah satu warung kami makan, yang menjadi begitu mengesankan ialah harga untuk satu porsi tempe penyetnya yang sangat murah dan rasanya enak. 

 
Cuaca cerah saat itu, baru pukul 11 siang kami menaiki satu-satunya angkutan yang akan menyambungkan kami ke Pantai Sendang Biru, angkutan sejenis angkot mobil Carry tua berwarna biru itu harus menunggu penumpang penuh terlebih dahulu – kejar  setoran istilahnya sedang kami masih penumpang pertama, satu jam pun berlalu setelah habis berkeliling pasar angkutan itu masih belum mau beranjak, masih menunggu beberapa penumpang lagi – menurut supirnya. Kami sedikit gamang saat itu sedikit mengejar waktu untuk sampai di Pulau Sempu saat hari masih terang karena jika hari sudah terburu gelap itu akan menjadi masalah bagi kami yang tidak paham medan, jadilah kami menyewa angkutan itu untunglah harga yang ditawarkan masih dalam batas wajar. Disupiri seorang pemuda tinggi kurus asli Sendang Biru bernama Mas Dowo dia berpenampilan sangat necis dengan celana jeans model cutbray dan kaos lengan panjang tak lupa kacamata hitam di atas jidatnya menghiasi model rambut spike -nya, Mas Dowo tidak banyak berbicara hanya menjawab ketika ditanya dan dia pun hanya tersenyum-senyum kecil saat kami mulai bernyanyi sepanjang jalan. Mobil angkot yang kondisinya sudah tidak bagus itu berjalan kencang sekali membuat kami sedikit bergidik begitu melewati tikungan-tikungan yang tajam dan jalanan membelah ladang-ladang tebu yang luas sangat indah mengingatkan pada film Freddy and Jason – oh mungkin itu ladang jagung, sesekali kami berpapasan dengan truk-truk pengangkut tebu.

   Kami berhenti di depan pos area konservasi di tepi Pantai Sendang Biru, seperti yang diketahui Pulau Sempu adalah area konservasi yang kondisi alamnya harus benar-benar terjaga karena di dalamnya terdapat hutan sebagai habitat berbagai satwa liar, kami meminta izin dan ranger pun memberi sedikit pengarahan singkat tentang bagaimana arah jalan untuk mencapai Segara Anakan dan hal-hal yang dilarang dilakukan di Pulau Sempu. Kami menyebrang ke Pulau Sempu dari Pantai Sendang Biru sekitar pukul 3 sore menggunakan perahu nelayan selama kurang lebih 15 menit kami akhirnya sampai di Teluk Semut, terdapat banyak mangrove tumbuh disini, pasir putih dan batu karang pun menghiasi gerbang pertama di Pulau Sempu itu. Dari Teluk Semut kami memulai trekking membelah hutan, di pulau yang penghuninya satwa liar yang cantik ini hanya ada suara alam burung-burung diatas pepohonan yang tinggi dan suara langkah kami menyusuri jalanan setapak, membawa beban di ransel yang cukup berat karena kami akan berkemah benar-benar menguras tenaga trekking pun kami lalui dengan waktu tempuh hampir satu setengah jam. Tiba di Segara Anakan yang khas dengan lubang ditengah gugusan batu karang yang menghalangi secara langsung ombak dari Samudera Hindia itu dan air yang terkumpul dari ombak-ombak yang masuk kedalam lubang tersebut sebuah menjadi laguna yang tenang. Tetapi miris kesan pertama begitu sampai sekitar pukul setengah lima sore itu membuat patah hati karena sampah plastik berserakan dimana-mana juga air di Segara Anakan yang sedang mengalami surut, untunglah kera-kera di pepohonan yang sedang mengamati kami memberikan sedikit hiburan sore itu. 

 

  Dengan cepat kami bersiap untuk mendirikan tenda, tenda yang kami bawa adalah tenda regu pramuka pinjaman dari seorang teman dan patoknya lupa entah kemana jadilah tenda itu berdiri seadanya dengan hanya diikat pada batang pohon ke batang lainnya. Malam merambati waktu, kami mulai memasak untuk makan malam seadanya dengan mata yang terus memperhatikan ratusan kelalawar yang terbang mondar-mandir diatas Segara Anakan, sungguh eksotis.

  Pada hari ketiga ini kami sempat untuk bangun pada pukul setengah enam pagi, tapi air di Segara Anakan masih surut kami menunggu untuk pasang untuk bisa berenang, lalu tenda kami yang melorot itu seperti menghipnotis kami untuk kembali masuk dan memejamkan mata. Namun satu jam kemudian tiba-tiba terbangun oleh suara-suara ribut tawa lepas, matahari sudah mulai tinggi saat itu mungkin pukul tujuh lebih ternyata air sudah mulai pasang para laki-laki mulai naik ke tebing yang rendah lalu melakukan loncatan ke dalam air semua menikmati suasana di pagi itu, indah sekali cahaya matahari terpantul berkilauan dari riak-riak air dan akhirnya kami berenang!. Tak terasa waktu berjalan, melihat karang-karang menjulang yang gradasi warnanya terpantul cantik dan kami mulai tidak tahan untuk mendakinya tebing karang yang di sebelah timur Segara Anakan itu, dan yang kami dapatkan adalah pemandangan samudera lepas dengan zenith batas antara laut dan langit yang hanya dibedakan dengan warna biru tua dan biru muda serta dari atas tebing ini kami mendapatkan pemandangan penuh untuk Segara Anakan di kejauhan tenda kami terlihat kecil – dan masih melorot.  




  Setelah memasak makan siang kami tersadar, perbekalan air kami tidak cukup jika kami harus menginap kembali di Pulau Sempu, jadi sekitar pukul tiga sore kami memutuskan untuk pulang. Sambil mengepak barang-barang dan membersihkan sampah yang kami hasilkan beberapa dari kami sibuk memberikan sisa makanan yang layak pada kera-kera mereka pun akhirnya mengerubungi makanan yang kami berikan, matahari cerah sekali dan angin bersemilir menimbulkan suara gesekan dedaunan di hutan Pulau Sempu waktu kami berjalan pulang menyusuri jalanan setapak menuju kembali ke Teluk Semut – ah hati ini masih tertinggal rasanya di Segara Anakan. 

  Sampai kembali ke Pantai Sendang Biru kami berebut duluan mandi – maklum terakhir kami mandi waktu di Bandung sebelum berangkat. Hari mulai gelap dan suara musik dangdut khas pesisir terdengar sayup-sayup dari warung di sekitar pantai sangat aduhay. Selepas maghrib Mas Dowo kembali menjemput kami dengan angkot  kesayangannya itu dan dengan secepat kilat pula lah kami tiba di Pasar Turen, pasar ramai saat itu disini kami diperbolehkan makan soto ayam dulu sehabis itu kami diantarkan ke pusat kota. Rencananya dengan waktu yang sisa satu hari ini kami akan mengunjungi teman lama di Sidoarjo dan naik bus menuju Surabaya, tetapi bus menuju Surabaya hanya tersisa di Terminal Arjosari jadilah kami kembali naik angkutan umum karena kepalang sudah berpisah dengan Mas Dowo, di dalam angkutan terlihat kota Malang di malam hari yang begitu tenang pas didengar bersama suara-suara Waljinah atau Sam Saimun.

   Kami menaiki bus terakhir malam itu menuju Surabaya di dalam bus kami langsung terlelap nyenyak sekali. Masih setengah sadar waktu kernet membangunkan kalau kami sudah sampai di Terminal Purabaya atau Bungurasih itu sekitar pukul satu dini hari, di terminal paling sibuk di Indonesia ini teman kami Regi telah datang menjemput lalu kami naik angkutan ke rumah Regi di Sidoarjo yang mungkin jaraknya sekitar 10 kilometer. Di jalan kami mengobrol masalah bola, satu yang kami ingatkan untuk tidak mengungkit masalah bola apalagi sangkut pautnya dengan supporter-supporter yang fanatik tentunya akan menjadi masalah yang sensitif, kami belum sampai tempat yang Regi maksud untuk menurunkan kami tapi supirnya tiba-tiba menurunkan kami di tepi jalan dan meminta ongkos lebih dari yang telah disetujui, daerah itu masih cukup jauh untuk dicapai dengan jalan kaki kerumah Regi setelah kami sadar ternyata supirnya adalah salah satu supporter bola fanatik yang menurut kami dia sangat kontra dengan logat Sunda milik kami yang identik dengan Persib Bandung dan kebetulan yang tadi dijalan kami singgung adalah masalah persahabatan antara supporter Persib dan Persebaya milik Surabaya, dan – oh ternyata masalah sensitif itu tak hanya menyinggung mengenai SARA saja, masalah sepak bola juga  bisa bikin jadi jalan jauh dan ongkos yang tiba-tiba naik. 
  Sampai dirumah Regi sudah larut, kami mengobrol sebentar ditemani nyamuk-nyamuk dan secangkir kopi suguhan. Pada pagi hari kami tidak bangun pagi-pagi karena tidak ada cahaya yang menerobos atau suara tawa yang membangunkan pagi ini hanya terdengar suara siaran berita pagi dari televisi di ruang tengah dan ide gila itu pun tercetus, kami yang awalnya hanya akan berkeliling kota tiba-tiba memutuskan untuk menyewa mobil selama dua belas jam untuk pergi ke Gunung Bromo. Lantas ide nekat ini pun terealisasikan, sepanjang perjalanan hanya berpapasan dengan truk-truk gandeng dan kontainer yang super besar dan super kencang, wajar saja daerah Sidoarjo adalah salah satu daerah industri di pulau Jawa dan jalanan mulai berdebu terlebih ketika kami mulai melewati bangunan-bangunan yang tidak terawat seperti yang begitu saja ditinggalkan, tak lama tanggul yang tinggi terlihat di tepi jalan kami tiba di Porong, Sidoarjo. Miris sekali melihatnya lumpur yang semakin lama semakin banyak akan menjadi bom waktu bagi penduduk disekitarnya. 

   Mobil kami menyalip truk pengangkut semen di tanda marka jalan yang seharusnya tidak diperbolehkan menyalip, lalu peluit polisi bunyi begitu nyaring dan bapak polisi yang berkumis itu sudah ada ditengah jalan memberhentikan mobil kami, setelah panjang lebar menjelaskan akhirnya kami memilih jalan damai karena jika di tilang dengan resiko SIM harus ditahan dan menghadiri sidang, padahal kami harus pulang besok pagi. Setelah insiden itu kami berkendaraan sangat hati-hati dan menaati rambu-rambu sepanjang jalan Sidoarjo – Probolinggo, lalu jalan berbelok ke kanan sawah ladang mulai kentara begitu kami memasuki daerah berkelok-kelok menuju Gunung Bromo, jalanan naik dan menurun menjadi dominan di jalur ini, dan baru sekitar lima sore udara dingin memasuki mobil, kaca sengaja kami buka demi mendapatkan sensasi udara sesegar ini kabut mulai bergelantungan di kaki-kaki bukit yang saling manjang-memanjang tidak terputus itu, bukit-bukit ini terlihat seperti benteng-benteng yang maha indah berwarna hijau zamrud seperti dalam cerita dongeng yang berakhir indah. Tak lama mobil pun kami parkirkan, sayang kami datang sore hari karena sudah tidak ada penyewaan jeep untuk turun ke zona Pasir Berbisik, mobil pribadi tidak diperkenankan turun ke bawah jadi kami hanya menikmati matahari tenggelam dan kawah Bromo dari kejauhan saja, tapi alam seolah membayar kesedihan kami matahari terbenam meninggalkan semburat oranye yang indah di barat sana digantikan kerlipan cahaya bintang dimalam yang cerah ini tanpa polusi cahaya dan tanpa sedikit pun awan yang menutupinya menjadi pengalaman stargazing paling indah dari pengalaman stargazing lainnya. 

   Meninggalkan Bromo malam itu dengan perasaan sedih, jalanan yang dilalui terasa lebih cepat kami pun sampai di pusat kota Surabaya sekitar pukul sebelas malam dimana muda-mudi masih berseliweran, kami pun ikut ngopi dan nongkrong  dengan atmosfer rasa kota Surabaya. Salah satu kota besar di Indonesia ini menurut kami cukup rapih dan bersih juga nyaman mungkin sudah ada perhatian khusus untuk hal-hal tersebut.
  Baru pukul satu malam kami sampai dirumah Regi lagi, membereskan dan tidur sekejap sekali sampai kepala terasa sangat pusing ketika bangun pukul empat shubuhnya lalu mengejar kereta api yang dijadwalkan berangkat pukul enam pagi itu, Regi menyarankan kami untuk naik lewat Stasiun Wonokromo karena Stasiun Gubeng terlalu jauh jaraknya, jam di tangan menunjukan pukul lima lebih dua puluh menit dan angkot yang kami tumpangi berjalan pelan sekali mencari penumpang mulai panik sembari menyindir-nyindir bapak supir agar lebih cepat mengemudi lebih baik. Kereta baru akan tiba di Stasiun Wonokromo sekitar sepuluh menit lagi kami menunggu dengan nafas yang masih sedikit tersenggal-senggal padahal ini belum apa-apa di bandingkan dengan enam belas jam yang akan datang di kereta api kelas ekonomi. 

  Udara panas menjalar di seantero gerbong dan hanya menyisakan pemandangan-pemandangan yang silih berganti dengan cepat lewat kaca jendela, akhirnya selepas kereta melewati Kota Jogja kami berpindah dari tempat duduk masing-masing ke restorasi, di restorasi kami mengobrol banyak hal dengan koki kereta api, kondektur kereta api dan kru-kru lainnya menceritakan susah senang mereka di dalam kereta api, melihat apa yang digambarkan raut muka mereka pastilah cerita mereka seperti sepanjang jalur Surabaya-Bandung dan seperti kami yang akan selalu mengkisahkan kisah ini kelak. 





Untuk : Larissa Augusta, Nugraha Anwar Huda, Adi Mulyadi, Candra Dwi Cahyadi, Ega Ilman Fahmi Ternate, Boby Setiadi dan juga untuk Regi Erba Arsian - Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar