Minggu, 08 Maret 2015

Dari Tempat Para Dewa, Doa, lalu Gerbang Naga






Pernah bertanya bagaimana ketika seorang Kopral Belanda suruhan Sir Thomas Stamford Raffless, pertama kali menemukan bangunan dari batu yang bertumpuk berisikan patung – patung dan relief – relief indah di sebuah bukit di daerah Magelang, aku mungkin sama terpesonanya dengan si Kopral itu, ingat sebelumnya pernah mencoba naik sepeda dari Malioboro tapi menyerah di Sleman  dan ternyata tempat yang dituju masih jauh.
***
            Peluit kereta api bertiup kencang di Stasiun Kutoarjo, hari masih sepi fajar merah masih malu-malu mengintip di timur. Di tempat transit ini mataku yang masih berat dipaksa harus bangun karena ternyata baru bisa tertidur dua jam terakhir sebelum tiba, kereta yang akan mengantarkan kami ke Jogja baru ada jam 9, jadi aku pikir masih ada waktu untuk mencari sarapan, dan akhirnya hanya makan mie instan yang dibagi dua bersama seorang teman. Stasiun Kutoarjo yang tadi shubuh sepi lenggang, siang ini nampak ramai dan sedikit panas jarum jam kecil ditembok stasiun pun menunjukan angka 9 kurang sepuluh dan kami akhirnya menaiki kereta lanjutan dari Kutoarjo, di perjalanan singkat menuju Jogja sepanjang kanan dan kiri jalur rel ilalang tumbuh sepinggang orang dewasa dan jauh disana ada Merapi dan Merbabu yang sangat indah dengan awan tipis menghiasi langit yang biru siang itu,
            “ Itu Merapi sama Merbabu ya ? “
            “ Iya, mau kesana emangnya? “
            “ Pastilah, harus. “
            Dan itu kami berempat yang sedang kebingungan di Sostrowijayan, dan akhirnya bertemu seorang teman yang membuat kami menumpang tidur di kostannya, setelah istirahat hari berganti malam dan kami diajak  untuk mengunjungi Festival Musik Tembi, ini semacam rasa capek yang terbayarkan karena disini kami disuguhkan musik – musik yang nyaman sekali ditelinga, seolah alam pun ikut menyemarakkan malam itu karena di atas langit sedang padang bulan, aku berdoa semoga esok malam sama cerahnya dengan malam ini. 
            Hari yang ditunggu pun tiba, hari ini tanggal 25 Mei 2013 bertepatan dengan perayaan Waisak di Borobudur, kami berangkat dari tempat kost teman pukul 10 siang, sedikit terlambat karena tadi malam terbawa suasana sehingga lupa waktu. Naik Trans Jogja sampai Terminal Giwangan, disana lalu naik bus tujuan Magelang sepanjang perjalanan cuaca mendung dan tidak lama hujan turun cukup deras, perasaanku jadi tidak enak. Oh ya, kami janji untuk bertemu teman yang akan datang menyusul langsung ke Borobudur tapi setelah dekat Borobudur terjadilah salah komunikasi, kami salah menyampaikan tempat untuk janjian bertemu telepon genggam pun menunjukan tanda bahwa pesan tidak dapat terkirim, di telepon pun tidak bisa tersambung jadi aku hanya mengandalkan intuisi untuk bertemu dengannya. Seorang teman pernah mengatakan ‘ percaya atau tidak ditempat seramai apa pun kita akan tetap bisa menemukan orang yang kenal baik dengan kita tanpa kita saling berkomunikasi sebelumnya, ini seperti ada gelombang elektromagnetik yang mengirimkan sinyal sehingga memberitahu kita dan akhirnya pun bisa bertemu ‘. Aku masih coba terus menghubungi tapi sama saja nihil hasilnya, berputar – putar disekitaran pelataran, mengikuti orang lain yang berjalan kearah selatan dan sampai akhirnya
            “ Mbak ! “ teriakku
            “ Ya ampun, akhirnya! Aku sampai putus asa muter – muter dong “
            “ Maafin aku mbak, tapi akhirnya ketemu juga kan “
            “ Iya mengandalkan intuisi “
            “ Bukan mbak, ini karena ada gelombang elektromagnetik diantara kita.” Aku terkekeh.

            Kami waktu itu berdelapan, berjalan berdekatan takut saling terpisah karena Borobudur sedang sangat padat, hari itu sangat indah Borobudur dihiasi ornamen khas Waisak ada patung Budha yang besar dengan senyum sejuknya di pelataran candi dan aku terpesona pertama kalinya setelah dua tahun yang lalu aku pernah mencoba menaiki sepeda dari Malioboro tapi akhirnya menyerah dan hari ini aku melihatnya, dia yang begitu cantik dan agung. Kabut – kabut tipis pun menyelimuti perbukitan Menoreh membuat sore itu semakin indah seperti dalam cerita aku pun bahagia.
            Ketika hari menjelang malam rintik – rintik hujan turun dan lama kelamaan menjadi sedikit deras, para peserta Waisak tetap memanjatkan doa ditengah – tengah hujan yang semakin deras sampai akhirnya acara puncak penerbangan 1000 lampion pun dibatalkan karena hujan tidak mau berhenti, aku sedikit kecewa dan akhirnya menangis diam – diam  karena sebetulnya aku menunggu momen ini hampir delapan bulan tapi hujan yang turun merefleksikan berkah untuk kita semua yang hadir disana malam itu. Sambil menunggu hujan agak reda  kami diam di mushala, baju yang basah kuyup ransel yang basah dan asyiknya kami tidak punya tujuan kemana – mana lagi, mau pulang ke Jogja jelas ini pukul 11 malam tidak ada angkutan umum yang beroperasi dan akhirnya kami beristirahat di tenda – tenda bekas peserta Waisak, belum sepuluh menit datang petugas yang mengusir kami dan tidak memperbolehkan kami untuk menunggu pagi disana. Dalam kelelahan kami berjalan keluar komplek Borobudur perlahan – lahan ada lampion yang membumbung tinggi keangkasa mungkin jumlahnya sedikit tapi sangat indah, sambil mencari tempat untuk menunggu pagi akhirnya kami bertemu dengan teman dari Jakarta, dia seperti malaikat bertopi malam itu yang memberi kabar baik kalau ada tempat yang nyaman untuk disinggahi, kami naik ojek menyusuri kampung, sawah dan ladang warga dalam gelap sampai akhirnya kami tiba di depan pintu gerbang naga – ya betul, digerbangnya benar – benar terdapat patung naga.
            “ Selamat datang di Rumah Seni Eloprogo “ sambut mereka hangat.
            Kami menjawabnya dengan senyuman dan anggukan malu – malu .
            Suasana disana sangat asing tapi  hangat banyak juga teman – teman baru dari berbagai daerah yang akhirnya bertukar cerita dan berbagi malam bersama, kami tidur meringkuk bertumpukan di salah satu gazebo dengan celana dan baju yang sedikit lembab. Pagi yang indah di Rumah Seni Eloprogo ini, ternyata rumah seni ini didirikan di tepi pertemuan sungai Elo dan Progo, kalau saja malam tidak hujan, pagi ini mungkin kami sudah asyik berenang disana tetapi aku tidak mau menyalahkan hujan yang indah turun tadi malam itu. Ditepiannya kami sarapan dan berdoa beramai - ramai sambil saling berbagi makanan dengan teman - teman baru kami.  Sayang sekali siang ini kami harus meninggalkan Eloprogo, untuk kembali ke Jogja mungkin akan ada purnama-purnama yang memanggil kami untuk kembali kesana suatu hari nanti.







Terimakasih banyak Larissa, Widi, Adi, Boby, Candra, Array, Essoy 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar