Sabtu, 28 Maret 2015

Dibalik Foto "Morning without you is a dwindled dawn"

Morning without you is a dwindled dawn - Emily Dickinson


Syahdan, dahulu kala di dataran tinggi ini adalah tempat dimana Kyai Kolodete – salah satu dari tiga serangkai yang membangun Wonosobo melakukan moksa, tempatnya sangat indah.

Hari masih sore, jam pulang kerja belum usai hari ini malam Natal tanggal 24 Desember, suasana hotel agak sibuk tidak seperti biasanya, sebagian menyiapkan ornamen khas Natal lalu lainnya menyiapkan untuk acara makan malam. Saya sedikit terburu-buru membereskan tugas saya hari itu, meskipun begitu tetap jam tujuh malam saya baru bisa keluar office.
Sambil mengkontrol ulang bawaan yang sudah disiapkan sebelum berangkat kerja tadi pagi, tidak dalam lima belas menit kemudian partner perjalanan saya malam itu siap menjemput , dengan motor vespa kuning cerahnya itu kami berangkat menuju kawasan Dieng Plateau .
Malam terbuat dari suasana syahdu dari gereja-gereja yang kami lewati selama perjalanan Jogja-Muntilan cuaca cukup cerah malam itu hanya ada bekas rintik hujan yang telah lewat, kami berbelok kearah Candi Borobudur sambil mengikuti papan petunjuk arah yang mengarahkan ke Purworejo, tak lama berbelok kanan melewati Kecamatan Sapuran, melewati daerah Sapuran adalah salahsatu dari epos cerita malam ini bagaimanakah tidak, jalanan berkelok naik dan turun serta lubang jalanan yang sering tidak terlihat juga jalanan yang hampir dari seluruhnya hutan dan ladang saran dari kami jangan lewat pada malam hari. Sepanjang perjalanan di daerah Sapuran ini terbuat dari gelap juga ladang-ladang warga hujan dengan intensitas rendah, juga dengan pisau lipat di saku celana hanya untuk waspada. Sekitar satu jam melintasi daerah Sapuran , kita muncul di Pasar Kretek Wonosobo yang berbatasan langsung dengan Purworejo. Sedikit informasi, apabila perjalanan Jogja-Wonosobo melewati daerah Sapuran kita akan menghemat sekitar satu hingga dua jam perjalanan dibandingkan harus melewati Magelang kota, Parakan dan Temanggung.
Dari Pasar Kretek Kawasan Dieng Plateau tidak terlalu jauh lagi, tepat pada pukul 12 malam kita sampai di gerbang pertama ada siluet indah Sindoro - Sumbing yang tertangkap mata malam itu, langit cerah tidak berwarna hitam pekat melainkan biru tua yang menenangkan bulan tak terlihat mungkin itu alasan yang membuat bintang menjadi primadona langit malam itu, bukit dan punggungan pegunungan saling menyambung tidak berujung, sungguh Tuhan sedang jatuh cinta waktu membuat Dieng!
Waktu kami sampai di Patak Banteng yang menjadi Pos Pendakian Gunung Prau suhu disana sekitar 14 derajat celcius, dingin sekali untuk ukuran warga yang tinggal dikota pesisir pantai, kami tak banyak lama setelah parkir motor dan sedikit bercakap, pukul satu dini hari kami memulai pendakian melewati perkebunan warga yang tanahnya gembur-gembur sambil berhati-hati jangan sampai ada tanaman yang rusak.
Kembali ke beberapa minggu lalu waktu weekend di Gunung Merbabu, kami bertemu seorang pendaki asal Bogor, ia bercerita pengalamannya saat ke Dieng dan tidak sengaja naik Gunung Prau dari sana kami menggali informasi, memang sedang agak hits di forum-forum backpacker tentang keindahan Gunung Prau, gunung yang serupa bukit yang tinggi itu pun belakangan ini menjadi buruan fotografer. Sementara kami, adalah seorang ‘euforia-individualis-traveller’ atau ya mungkin hipster yang datang kesana hanya untuk menikmati pagi yang tidak biasa itu saja tanpa peralatan kamera super canggih dan sebisa mungkin tidak meninggalkan sampah, dorongan kuat lahir dari kumpulan foto di dunia maya yang menggambarkan padang bunga daisy.
Melewati Pos I Sikut Dewo dan Pos II Canggal Walangan dengan mulus, medan tidak terlalu curam atau pengaruh gelap yang membuat pendakian jadi terasa ringan setelah Pos III Cacingan jalan mulai sedikit ada rintangannya, tanah basah khas bulan Desember juga tanah yang sedikit longsor hampir 90 derajat dengan ketinggian tiga meter ini sedikit menguji kesabaran, itu dini hari kabut menggantung tipis untung ada webbing yang diikatkan pada pohon yang kokoh untuk membantu pendaki melewati tanjakan curam ini.
Setelah jalan sekitar seratus meter dalam kegelapan kami mulai merasakan padang bunga daisy, dan tibalah kami di Padang Teletubies yang biasa dijadikan tempat mendirikan tenda, disana penuh sekali tenda-tenda terang dalam kegelapan dan beruntunglah menangkap siluet megah Sindoro -  Sumbing juga rasi bintang layang-layang dilangit selatan membuat petunjuk dimana tempat yang tepat untuk mendirikan tenda. Pilihan jatuh pada bukit paling atas agak sepi dari kerumunan tenda lainnya, anginnya juga agak kencang dari arah timur, tetapi karena kami berniat hanya menunggu fajar datang jadi itu tidak masalah.
Waktu rona merah di timur mulai nampak kami sedang menyeduh kopi, sekitar pukul setengah lima pagi, padang bunga daisy yang dipenuhi tetesan embun pagi mulai kelihatan dan itu luar biasa, tapi yang jadi menarik adalah ketika membuka tenda tampaklah si kembar Sindoro – Sumbing menyapa. Rasanya meleleh.
Pagi ini benar lain dari hari-hari biasanya, mungkin ini adalah pagi terbaik selama hampir dua puluh dua tahun hidup, sungguh jika kamu ada disana waktu itu pun kamu akan berlebihan meskipun ada ratusan orang yang menunggu pagi tapi nampaknya spot yang kami pilih cukup tepat karena jauh dari kerumunan orang banyak.


Kami mulai packing dan bersiap turun sekitar pukul sebelas siang, setelah dihajar hujan deras selama satu jam, padang bunga daisy jadi sedikit basah, rintik hujan pun masih menyisa pada kelopak dandelion, jalan sedikit becek. Sampai di Patak Banteng sekitar lepas ashar, memang kami turun dengan amat santai sambil menikmati kabut tipis yang turun sepanjang siang tadi, petualangan kami diakhiri dengan minum susu jahe hangat di angkringan sebelah Pos Pendakian sambil mengobrol dengan pemiliknya yang super ramah.

Untuk Baarce, Merry Christmas ! 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar